Regional

788 Bencana dalam 11 Bulan, Banjir dan Kebakaran Dominasi Kaltim

Advertisement

Rentetan bencana yang melanda Kalimantan Timur sepanjang 2025 menunjukkan pola kerawanan yang semakin kompleks. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kaltim mencatat, dalam kurun 1 Januari hingga 25 November 2025, sedikitnya 788 kejadian bencana terjadi di 10 kabupaten/kota. Angka ini mengindikasikan peningkatan frekuensi, terutama menjelang puncak musim hujan.

Dari ratusan kejadian tersebut, banjir, kebakaran permukiman, dan tanah longsor menjadi bencana paling dominan. Ketiganya mencerminkan kombinasi persoalan lingkungan, tata ruang, serta tingginya tekanan aktivitas manusia di kawasan rawan. Berdasarkan data Pusdalops BPBD Kaltim, banjir tercatat sebanyak 245 kejadian, disusul kebakaran permukiman 224 kejadian, dan tanah longsor 147 kejadian.

Selain itu, terjadi 50 gempa bumi, 42 cuaca ekstrem, 34 kebakaran hutan dan lahan (karhutla), serta 42 kejadian lain-lain seperti pohon tumbang, tersambar petir, jembatan roboh, hingga serangan hewan buas. Abrasi atau gelombang tinggi dan kekeringan masing-masing tercatat dua kejadian.

Pendekatan Preventif Mendesak

Koordinator Pusdalops BPBD Kaltim, Cahyo Kristanto, menyebut tingginya frekuensi bencana ini menjadi sinyal bahwa pendekatan penanggulangan harus bergeser dari reaktif ke preventif. “Kalau kita melihat data, bencana itu berulang di lokasi yang sama. Artinya, risiko sebenarnya sudah bisa dipetakan. Tantangannya adalah bagaimana mitigasi dijalankan secara konsisten,” kata Cahyo, Senin (8/12/2025).

Data BPBD menunjukkan Samarinda menjadi wilayah paling rawan, dengan 223 kejadian bencana atau hampir 30 persen dari total kejadian di Kaltim. Menariknya, Samarinda juga mencatat 114 kejadian tanah longsor, tertinggi di seluruh kabupaten/kota, serta 26 kejadian banjir dan 43 kebakaran permukiman.

Kondisi ini menunjukkan ancaman ganda di wilayah perkotaan padat penduduk, terutama di kawasan dengan kontur berbukit dan daerah aliran sungai. Di bawah Samarinda, Kutai Barat dan Kutai Timur masing-masing mencatat 99 kejadian.

Kutai Barat didominasi banjir sebanyak 74 kejadian, sementara Kutai Timur mencatat kombinasi banjir dan 31 kejadian gempa bumi, tertinggi di provinsi tersebut. Balikpapan mencatat 85 kejadian, dengan kebakaran permukiman mendominasi sebanyak 52 kasus. Sementara Berau mencatat 82 kejadian, termasuk 17 gempa bumi dan satu kasus abrasi atau gelombang tinggi.

Pola ini mengindikasikan perbedaan karakter ancaman di tiap wilayah—wilayah pesisir menghadapi abrasi dan gempa, kawasan tambang rawan longsor, dan kota besar menghadapi banjir serta kebakaran permukiman.

Dampak Luas dan Kerugian Material

Dampak bencana sepanjang 2025 tidak hanya tecermin dari jumlah kejadian, tetapi juga kerusakan yang ditimbulkannya. BPBD Kaltim mencatat 35.681 rumah tergenang, 120 fasilitas umum, 55 fasilitas pendidikan, dan 36 fasilitas kesehatan terdampak.

Kerusakan juga terjadi pada 23,46 kilometer jalan, 15 jembatan, 48 kantor, serta 124 kios dan ruko. Luas lahan yang terbakar akibat karhutla mencapai 333,07 hektar. Total kerugian ditaksir mencapai Rp 35 miliar.

Advertisement

Korban jiwa akibat bencana juga signifikan. Tercatat 73 orang meninggal dunia, 22 orang hilang, dan 50 orang luka-luka. Selain itu, 150.152 warga terdampak, dengan 278 orang harus mengungsi.

“Angka korban ini menunjukkan bahwa bencana bukan hanya persoalan alam, tapi juga menyangkut kesiapan sistem dan perilaku masyarakat,” ujar Cahyo.

Alokasi Anggaran dan Tantangan Kesiapsiagaan

Menghadapi situasi tersebut, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur mengalokasikan lebih dari Rp 10 miliar pada 2025 untuk kesiapsiagaan dan penanganan kedaruratan. Anggaran ini digunakan untuk pengadaan dan distribusi alat penanggulangan bencana (APB), logistik, serta operasional posko siaga.

Distribusi APB mencakup perahu karet, motor tempel, tenda pengungsian, lampu darurat, alat komunikasi, pompa air, hingga perlengkapan medis ringan. Tahun ini, BPBD juga menambah 14 unit ekskavator, 139 perahu, dan enam unit speedboat untuk mendukung evakuasi dan normalisasi drainase.

Namun, Cahyo mengakui bahwa logistik dan alat memiliki batas jika menghadapi bencana berskala besar. “Peralatan tidak akan pernah sepenuhnya cukup. Yang menentukan adalah peringatan dini, kesiapan jalur evakuasi, dan kemauan masyarakat untuk dievakuasi tepat waktu,” katanya.

Data lapangan BPBD juga mencatat tantangan khusus di wilayah perkotaan. Banyak warga memilih mengungsi ke rumah keluarga atau hotel, sehingga tidak tercatat di posko resmi. Akibatnya, pendataan dan penyaluran bantuan harus dilakukan secara lebih intensif.

Selain itu, masih ditemui warga yang menolak dievakuasi meski kondisi membahayakan. “Ini menjadi tantangan sosial. Edukasi kebencanaan perlu diperkuat, agar warga tidak menunggu sampai kondisi benar-benar kritis,” ujar Cahyo.

Dengan puncak musim hujan diperkirakan terjadi pada akhir Desember, BPBD Kaltim menilai data 2025 harus menjadi alarm dini. Pola bencana yang berulang di lokasi yang sama menunjukkan perlunya evaluasi tata ruang, pengelolaan lingkungan, dan kedisiplinan dalam mitigasi. BPBD Kaltim menegaskan penguatan mitigasi akan terus dilakukan, namun efektivitasnya sangat bergantung pada kolaborasi pemerintah daerah, aparat, dan masyarakat dalam merespons peringatan dini dan risiko yang sudah terpetakan.

Advertisement