Pikul Luhut

oleh
oleh

SAYA benar-benar penasaran pada gegap gempita green industrial park di Kalimantan Utara itu. Begitu besarnya. Begitu muluknya.

Saya pun kirim WA ke Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan: seberapa tinggi komitmen itu.

Pak Menko memberikan waktu Senin siang kemarin.

Banyak Media

 

Saya pun tidak ingin mendengarkan penjelasannya seorang diri. Saya ajak serta D!rut Harian D!sway Tomy C. Gutomo. Juga, para pemimpin redaksi di semua media yang  mengikatkan diri pada grup D!sway: 70 koran harian, 90 media online, dan 10 stasiun televisi lokal. Semuanya yang ikut ada 220 orang, dari berbagai wilayah Indonesia, ikut mendengarkan via Zoom.

Mereka itulah yang baru saja bersepakat untuk membangun sesuatu: D!sway National Network (DNN). Yang akan d!kembangkan lebih luas lagi ke depan. Kalau jadi.

”Kita akan jadi negara industri,” ujar Luhut di forum itu. Luhut d!dampingi dua pejabatnya: Septian Hario Seto (Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan) serta M. Firman Hidayat (Stafsus Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi).

Industri yang d!maksud adalah industri yang bernilai tambah tinggi. Termasuk industri dasar untuk kebutuhan terpenting masa depan: semikonductor. Pun industri dasar untuk bahan baku solar cell.

Maka, di Kaltara itu –tepatnya di bibir barat selat Makassar– akan d!bangun industri aluminium, logam campuran, dan petrochemical.

Semuanya serbabesar. Petrochemical itu, misalnya, “Tiga kali lipat lebih besar dari yang ada di Chandra Asri,” ujar Luhut.

Sedangkan pabrik bajanya bukan yang seperti di Krakatau Steel. Baja campuran yang d!hasilkan di Kaltara nanti yang bermutu tinggi. Yang bisa d!pakai untuk mobil.

Di Kaltara itu juga akan d!bangun industri polysilicon. Itu bahan baku sangat dasar untuk mulai membangun solar cell.

Kami sengaja tidak mengejar dengan pertanyaan-pertanyaan detail. Belum. Saya cenderung untuk bersikap: berikan waktu yang cukup untuk menyiapkan detailnya.

Intinya: industri dasar akan d!bangun di Kaltara. Sedang industri chip-nya di Batang, Jateng. Lokasi Batang itu tidak jauh dari PLTU raksasa milik Boy Thohir. Yang terlihat gagah di sisi utara jalan tol Tegal–Semarang itu.

Keberhasilan Luhut

 

Keberhasilan Luhut melakukan hilirisasi nikel membuatnya lebih pede untuk berbuat lebih jauh lagi.

Luhut yang namanya hancur-hancuran dua-tiga tahun lalu seperti mendapat obat penyegar: yang d!persoalkan dulu itu ternyata berhasil baik.

Indonesia kini terbukti mampu mendapatkan devisa besar hasil hilirisasi nikel. Hilirisasi nikel itu pula yang mampu menurunkan secara drastis defisit perdagangan Indonesia-Tiongkok. Tahun lalu. ”Tahun ini bisa lebih baik lagi,” katanya.

Kalau itu menjadi kenyataan, memang harus d!akui Indonesia menjadi satu-satunya negara yang perdagangannya dengan Tiongkok tidak defisit.

Kuncinya, kelihatannya, di ekspor komoditas yang bernilai tambah tinggi. Pelajaran itu akan d!lanjutkan ke aluminium, polysilicon, dan logam campuran kualitas tinggi.

“Kita punya nikel, bauksit, kuarsa, dan hydropower. Itu tidak d!miliki oleh banyak negara,” katanya.

Tinggal urusan SDM. Untuk industri chip itu, Indonesia akan memagangkan banyak anak muda ke Taiwan. Di Taiwan-lah terdapat industri chip terbesar di dunia. Kebutuhan chip naik terus –dan tidak akan pernah turun. Sebagai negara yang memiliki bahan baku dan sumber listrik murah, Indonesia harus ke sana.

Bukan main banyaknya pekerjaan itu. Berat-berat pula.

Kita memang punya pepatah indah dari masa nan lalu: berat sama d!pikul, ringan sama d!jinjing.

Tapi, barang berat di Kaltara itu tidak untuk sama d!pikul. Berat itu Luhut yang pikul, yang ringan yang kita jinjing. (*)