HUJAN SEHARI-HARI

oleh
oleh

Seperti dugaanku, akhirnya Rabu 5 Januari 2022 lalu, benar-benar turun hujan sehari-hari. Semenjak adzan subuh, dentuman teritik hujan di atap seng mengaburkan suara toa dari tower masjid. Sebenarnya dugaanku agak meleset! Sepuluh hari yang lalu, pada malam 25 Desember, kuyakini gumpalan awan pekat yang menggelayut sedari siang akan tumpah-ruah. Deras, tak henti sehari-hari, seperti dua tiga tahun terakhir.

Hujan sehari-hari hanyalah istilah. Orang awam sering menyederhanakan momentum kejadian. Hanya menunjukkan dominasi waktu hujan dalam sehari; biasanya pagi subuh hujan, saat syuruk jeda sesaat, agak mendung, lalu gerimis lagi. Beranjak siang agak terang, lalu kembali gelap-mendung, hujan lagi. Menjelang petang ada sinar mentari sejenak, lalu hujan lagi atau mendung- menggelap. Itu sudah cukup syarat untuk disebut hujan sehari-hari.

Tahun lalu, atau dua tiga tahun lalu, atau bahkan sering begitu, kerap terjadi hujan sehari-hari di akhir atau awal tahun masehi. Sedari dulu. Kadang ada saatnya melenceng. Langganannya akhir Desember, Januari atau kadang hingga medio Februari. Di pekan-pekan itu, awan hitam berarak-arak dari langit timur di atas kota Palembang mengarah ke barat hingga menggapai puncak-puncak Bukit Barisan yang memagari kawasan Bengkulu. Maklumlah, kampungku, berada di garis lurus timur-barat dari kedua kota itu.

Dan aku agak-agak hapal perilaku musim di kampungku. Yaa, lantaran sudah lebih 40 tahun mukim di sini. Belakangan, jika ada perubahan ekstrim perangai hujan, aku mulai menggunakan perangkat deteksi baru: la-nina, el-nino, perubahan neraca ozon, akumulasi gas buang No-x, atau kadang dihubungkan dengan perluasan ekstrim kebun sawit milik oligarki atau laju penambahan area eksploitasi batu-bara di sekitar wilayahku. Juga milik para kapitalis-oligark!

Di era sekolah pertanian, akhir tahun tujuh puluhan, instrumen deteksinya sederhana dan terkesan kuno. Tapi konon sangat astronomis dan sudah menggunakan aljabar kalkulus. Mungkin karya agung ilmuwan Muslim yang diadaptasi Walisongo dan diteruskan oleh para Sultan Mataram. Padahal mereka bukan alumni fakultas MIPA atau astronomi ITB. Mereka hanya mengkaji kandungan kitab suci-Nya. Memang, kesannya cenderung taklid, normatif dan simbolik. Misalnya, Desember maknanya ‘gede-gedening sumber’, air sumur sedang meluber; Januari, hujan sehari-hari. Sesederhana itu simboliknya.

Jika hendak diperumit lagi, diperluas variabel penyebabnya: misalnya, musim ini jatuh pada tahun ABOGE atau bukan. Artinya, Tahun Alip tanggal satu jatuh pada hari Rebo Wage. Tahun Alip adalah tahun pertama dari hitungan sewindu. Sedangkan jenis windu terbagi 4: Kuntara, Sangara, Sancaya dan Windu Adi plus dua karakter dasar, Kulawu dan Langkir. Jadi ramalan pranata mangsa itu bersiklus 32 tahun kali dua karakter dasar iklim. Mencermati perilaku musim berdasarkan pola edar bumi dan planet lain terhadap matahari selama 64 tahun, sungguh sangat komprehensif dalam memetakan perubahan iklim dan puting-beliungnya angin yang mengarak-arak awan-gemawan. Luar biasaa!

Belakangan, aku semakin rajin mencatat perangai musim, klimatologi ekstrim plus banjir dan gempa-longsor di daerahku. Motif awalnya hanya sekadar mengisi waktu, juga karena kebiasaan mencatat buku harian. Atau mungkin terinspirasi oleh Bung Andrea Hirata ketika memulai paragraf awal mozaik “Purnama Kedua Belas” dalam Dwilogi Padang Bulan.

Mengapa hujan sehari-hari di tahun ini agak mundur? Jawabannya serba mungkin. Mungkin musim la-nina telah berganti el-nino. Atau, bisa saja dampak fenomena ‘aphelion’ yang konon lebih menjauhkan bumi dari matahari menjadi 152 jutaan kilometer. Atau barangkali, karakter pranata mangsa yang bertepatan dengan tahun Alip 1955 ini, yang jatuh pada Windu Kulawu Sancoyo. Pasti, kajian awamnya bisa menguras waktu sehari-hari! [*]
[Muarabeliti, 8 Januari 2022]

.