Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya membentuk Satuan Tugas (Satgas) Anti Preman menyusul kasus pembongkaran rumah dan pengusiran paksa terhadap seorang nenek, Elina Widjajanti (80), yang terjadi hampir dua bulan lalu. Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menegaskan bahwa segala perselisihan terkait kepemilikan properti harus diselesaikan melalui jalur hukum, bukan dengan tindakan kekerasan.
Kasus yang menimpa Nenek Elina, yang kini berusia 80 tahun, telah memicu polemik di masyarakat dan tengah ditangani secara resmi oleh pihak kepolisian, termasuk Polda Jawa Timur.
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
Penegasan Hukum dan Penanganan Kasus
Wali Kota Eri Cahyadi, pada Sabtu (27/12), menyatakan, “Apapun status kepemilikan rumah tersebut, jika ada sengketa, penyelesaiannya harus melalui proses hukum. Negara kita adalah negara hukum, dan semua pihak harus menghormatinya.”
Polemik ini bermula dari sengketa kepemilikan, di mana satu pihak mengklaim telah membeli rumah tersebut, sementara Nenek Elina merasa tidak pernah menjual hak miliknya. Perselisihan ini kemudian meruncing hingga berujung pada tindakan kekerasan dan pengusiran paksa terhadap sang nenek.
Mengingatkan akan prinsip hukum, Wali Kota Eri menegaskan, “Sekalipun salah satu pihak mengantongi bukti kepemilikan yang sah, penggunaan cara-cara kekerasan tetap tidak dapat ditoleransi. Seluruh sengketa harus diselesaikan melalui koridor dan mekanisme hukum yang berlaku.”
Pemkot Surabaya berkomitmen penuh untuk mengawal penanganan kasus-kasus serupa hingga tuntas. Sebelumnya, Pemkot juga aktif turun tangan dalam berbagai sengketa, seperti kasus ijazah yang ditahan, dengan koordinasi bersama pihak kepolisian.
Eri menambahkan, “Surabaya selalu mengedepankan prinsip yang salah dibenahi, yang benar dipertahankan, berdasarkan bukti hukum. Ini adalah bentuk konsistensi pemerintah kota dalam menegakkan aturan dan menjaga kepercayaan warga.”
Upaya Pencegahan dan Penguatan Kerukunan
Untuk mencegah terulangnya insiden serupa, Satgas Anti Preman telah dibentuk oleh Pemkot Surabaya. Satgas ini melibatkan kepolisian, TNI, dan unsur Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkompinda).
Warga diimbau untuk melaporkan segala bentuk intimidasi atau tindakan premanisme kepada Satgas ini, agar dapat ditangani secara hukum dan tidak mengganggu ketertiban kota.
Selain itu, Pemkot Surabaya juga akan menggelar pertemuan dengan semua suku dan organisasi masyarakat (ormas) di Surabaya pada awal Januari 2026. Pertemuan ini bertujuan untuk memperkuat kondusivitas, menumbuhkan kesadaran kolektif, dan memastikan warga memahami bahwa penyelesaian konflik harus berlandaskan hukum.
Wali Kota Eri mengungkapkan, “Surabaya terdiri dari beragam suku dan agama. Kita harus menjaga persatuan dan kerukunan. Jangan biarkan perbedaan dijadikan alasan untuk memecah belah masyarakat.”
Eri Cahyadi turut menyampaikan bahwa partisipasi aktif warga merupakan pilar utama dalam merawat keamanan serta keharmonisan kota. Melalui serangkaian kebijakan ini, Pemkot Surabaya optimis setiap sengketa dapat diputus secara adil dan transparan sesuai koridor hukum.
Ia memungkasi, “Warga yang mencintai Surabaya pasti akan membantu menjaga ketertiban dan tidak mudah terprovokasi oleh isu yang dapat memecah belah.”






