Rasa lelah yang tak tertahankan telah menjadi gambaran umum di Sumatera, meliputi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Hampir sebulan lamanya, kantuk menumpuk di atas lumpur sisa bencana yang tak kunjung usai. Puluhan juta, bahkan mungkin ratusan juta orang, terlibat secara kolosal dalam penanganan bencana di pulau emas ini, sebuah upaya yang tak henti-hentinya dilakukan hingga tulisan ini dibuat.
Waktu seolah mengubur kisah pilu para korban, yang tidak hanyut namun terkapar di bawah tumpukan kayu-kayu yang malang melintang. Pohon-pohon yang ditebang secara brutal itu, kini seolah menangis. Luas dan parahnya bekas banjir serta tanah longsor di ketiga provinsi tersebut membuat siapa pun kesulitan untuk mendokumentasikannya secara menyeluruh. Satu kesimpulan yang muncul adalah: alam sedang melakukan audit forensik.
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
Namun, orang-orang tak berdosa yang menerima akibatnya. Rumah-rumah yang dibangun papan demi papan, bata demi bata, lenyap ditelan bencana. Jika ada yang tersisa, tak satu pun isinya yang selamat. Setelah banjir surut, tak seorang pun bisa masuk ke rumahnya selama berhari-hari, bahkan hingga sepekan. Lumpur masuk setinggi dada, bahkan mencapai atap, membawa serta tumpukan kayu.
Para korban bencana di Sumatera Barat dan Aceh menunjukkan ketahanan luar biasa. Mereka kuat bertahan, meskipun hampir setiap hari mereka “mencuci” wajahnya dengan air mata.
Pembangunan 15 Ribu Hunian Sementara Dimulai
Pembangunan hunian sementara (huntara) telah dimulai di Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Upaya ini menjadi angin segar bagi para korban.
Ketika Kepala BP Danantara, Dony Oskaria, mengunjungi Aceh Tamiang pekan lalu, seorang sopir mengungkapkan apresiasinya. “Baru ini pejabat yang datang langsung kasih bantuan dan memerintahkan membangun hunian sementara segera,” kata sopir tersebut kepada jurnalis pada Jumat (19/12/2025), sambil menyantap nasi kotak yang diberikan.
Dony Oskaria memang memastikan ketersediaan lahan BUMN untuk pembangunan 15.000 unit huntara di Aceh Tamiang. Bukan hanya lahan, Dony menargetkan 500 unit rumah harus sudah siap pada pekan akhir Desember 2025. Dalam waktu tujuh hari, semua BUMN Karya di bawah Danantara bergerak sigap bersama relawan yang tak terhitung jumlahnya. Kecepatan respons BUMN saat ini dinilai sangat sigap.
Dalam pertemuannya dengan Sekretaris Kabinet (Seskab) Teddy Indra Wijaya di Kantor Sekretariat Kabinet pada Rabu malam (24/12), Dony kembali menegaskan komitmen pembangunan huntara di Aceh. “Dalam satu minggu pertama, kami targetkan 500 unit rumah selesai dibangun dari total 15.000 unit yang ditugaskan kepada BUMN sepanjang Desember ini,” ujar Dony.
Selain pembangunan hunian, Dony juga menyoroti pentingnya pemulihan infrastruktur telekomunikasi. Ia menyebutkan bahwa Base Transceiver Station (BTS) milik BUMN di berbagai titik terdampak diharapkan segera berfungsi optimal guna mendukung kelancaran komunikasi masyarakat dan petugas di lapangan. “BUMN hadir tidak hanya dalam pembangunan fisik, tetapi juga dalam memastikan kehidupan masyarakat kembali berjalan normal,” tegasnya.
Pemulihan Jangka Panjang dan Tantangan Lingkungan
Berdasarkan pengalaman sebagai penyintas bencana sejak 1979 dan meliput bencana alam sejak 1987, pemulihan pascabencana alam membutuhkan waktu yang lama. Pembangunan rumah hunian sementara (huntara) dan hunian tetap (huntap) bagi korban adalah salah satu solusi penting.
Namun, ke depan, aliran sungai yang melintasi kampung-kampung serta anak-anak sungai di kaki gunung harus dijaga dengan serius. Jika tidak, bencana serupa akan terulang. Terlebih lagi, penebangan liar yang dibiarkan merajalela akan memperparah kondisi. Saat kemarau, hutan terbakar dan asap hitam masuk ke rumah. Saat musim hujan, banjir menerjang, rumah hilang, kampung dan kota binasa.
Saat ini, perdebatan mengenai kayu-kayu yang berserakan di sepanjang pantai tidak lagi relevan. Prioritas utama setelah pembangunan huntap adalah pemulihan ekonomi. Semua harus dimulai lagi, sebuah proses yang sangat sulit jika masyarakat dibiarkan berjuang sendiri.
Data Korban dan Kerusakan
Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 25 Desember 2025 menunjukkan dampak mengerikan bencana ini. Korban meninggal mencapai 1.135 jiwa di 52 kabupaten/kota di tiga provinsi paling atas Sumatera. Sebanyak 173 orang dinyatakan hilang, dan lebih dari 486 ribu orang mengungsi. Korban meninggal terbanyak tercatat di Aceh Utara dengan 205 orang, disusul Kabupaten Agam, Sumatera Barat, dengan 191 jiwa.
Kerusakan infrastruktur juga masif:
- Rumah rusak: 157.838 unit (47.165 rusak berat, 33.276 rusak sedang, 77.397 rusak ringan).
- Fasilitas kesehatan rusak: 200 unit.
- Sekolah Kemendiknas rusak: 3.188 unit.
- Rumah ibadah rusak: 806 unit.
- Jembatan putus: 98 unit.
- Jalan putus: 101 ruas.
Gerakan Solidaritas Kolosal Indonesia
Di balik angka-angka duka tersebut, terpampang jelas gambaran heroik para petugas dan relawan. Petugas PLN memikul trafo dan memanjat tower, dengan direktur utamanya turut berada di lapangan, bersama ribuan lainnya yang bersitungkin memasang kembali kabel-kabel. Ribuan dokter dan tenaga medis bergerak cepat. Anggota TNI, salah satunya bahkan berenang bolak-balik menyelamatkan 20 bayi, serta ribuan polisi dan relawan turut bahu-membahu.
Bantuan juga datang dari berbagai pihak, seperti Fery dengan donasi Rp 10 miliar dan ratusan relawannya. Sopir-sopir yang tak tercatat, tukang bungkus nasi, pengurus air bersih, hingga operator alat berat, semuanya terlibat. Mereka datang dari rumah-rumah ibadah, dari jalan-jalan yang berdonasi seperti Muhammadiyah, dari kalangan mahasiswa, bahkan yang membuat rendang dari Padang meskipun daerahnya sendiri terkena bencana.
Puluhan juta orang terlibat secara sukarela, menciptakan satu gerakan kolosal yang tak bisa ditiru, yang mungkin hanya ada di Indonesia. Gerakan sosial ini menjadi panggung bagi solidaritas Indonesia yang menakjubkan.
Musibah ini, di luar dugaan akal sehat, sesungguhnya adalah audit forensik dan audit investigasi bagi para penjaga hutan. Mereka yang wafat dalam bencana akan menjadi saksi kelak bahwa Pulau Sumatera telah binasa oleh keserakahan manusia pada alam. Sikap kita pada alam semestinya jernih, seperti air Danau Singkarak yang jernih sehabis hujan.
Rakyat selalu menjadi pihak yang lemah, padahal yang paling berharga dalam hidup adalah yang paling lemah. Rasa sakit hampir selalu datang karena berpikir tanpa bertindak. Oleh karena itu, negara harus bertindak cepat. Kecepatan respons Danantara, TNI, Polri, dan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) patut diapresiasi. Namun, yang paling menakjubkan adalah solidaritas rakyat Indonesia yang tak tertandingi.






