Nilai tukar rupiah diperkirakan masih bergerak tertekan menjelang penutupan akhir tahun 2025. Dominasi sentimen eksternal dalam pembentukan arah pasar menjadi faktor utama, seiring dengan meningkatnya sikap hati-hati investor akibat ketidakpastian geopolitik global.
Pengamat mata uang Ibrahim Assuaibi menyoroti pengaruh tensi geopolitik di Amerika Latin, khususnya konflik antara Amerika Serikat (AS) dan Venezuela. Kondisi ini memperkuat permintaan terhadap aset aman seperti dolar AS, sehingga membatasi ruang penguatan rupiah meskipun faktor domestik relatif stabil.
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
Ibrahim memproyeksikan kurs rupiah terhadap dolar AS dalam perdagangan di pasar uang antarbank pada Selasa (30/12) akan bergerak fluktuatif di kisaran 16.780 – 16.820 rupiah per dolar AS dengan kecenderungan melemah.
Sebelumnya, pada Senin (29/12) sore, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ditutup melemah 43 poin atau sekitar 0,26 persen dari posisi Rabu (24/12), menjadi 16.788 rupiah per dolar AS.
Analis mata uang Doo Financial Futures, Lukman Leong, menjelaskan bahwa pelemahan rupiah juga dipengaruhi oleh sentimen domestik dan regional. Selain itu, ekspektasi pasar terhadap peluang pemangkasan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) dalam waktu dekat turut menjadi beban.
“Rupiah melemah terhadap dollar AS terbebani oleh prospek pemangkasan suku bunga BI dan kebijakan ekspansif pemerintah,” kata Lukman.
Tekanan terhadap rupiah juga datang dari kawasan regional. Menurut Lukman, rupiah ikut terseret koreksi tajam yang terjadi pada mata uang Asia lainnya, khususnya ringgit Malaysia dan baht Thailand, yang sama-sama mengalami pelemahan signifikan terhadap dolar AS.
Lukman memperkirakan tekanan terhadap rupiah masih berpotensi berlanjut apabila tidak ada langkah stabilisasi dari bank sentral. “Rupiah tentunya masih akan terus tertekan dan melemah apabila tidak diintervensi BI,” tegasnya.
Dari sisi sentimen global, Lukman menilai pekan ini relatif minim rilis data ekonomi penting. Investor hanya perlu mewaspadai sentimen di pasar ekuitas, tensi geopolitik di laut Karibia, dan simulasi perang Tiongkok di laut Tiongkok Selatan.






