Otomotif

Pengamat ITB Peringatkan: Merek Mobil Listrik ‘Cangkang’ Terancam Gugur di Pasar Indonesia

Advertisement

Bulan madu penjualan segmen kendaraan listrik berbasis baterai (BEV) di Indonesia diprediksi akan segera berakhir. Meski saat ini masih menikmati manisnya insentif pemerintah, pasar otomotif nasional diperkirakan akan menghadapi seleksi alam yang ketat mulai tahun 2026.

Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menunjukkan, penjualan wholesales BEV pada November 2025 mencapai 13.381 unit. Angka ini melonjak signifikan dibandingkan periode yang sama tahun 2024 yang hanya 5.532 unit. Lonjakan ini tak lepas dari berbagai stimulus yang diberikan pemerintah.

Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.

Seleksi Alam di Tengah Insentif yang Berakhir

Pengamat otomotif dan dosen Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu, memperingatkan bahwa dalam dua hingga tiga tahun ke depan, persaingan di segmen mobil listrik tidak hanya akan ditentukan oleh posisi merek yang kuat, tetapi juga oleh komitmen jangka panjang.

“Selama ini ada yang masuk dengan model perusahaan cangkang, banting harga luar biasa karena menikmati insentif. Ke depan, model seperti itu tidak bisa lagi jalan,” ujar Yannes saat ditemui di Subang, Jawa Barat, awal pekan ini.

Saat ini, pasar BEV di Indonesia masih ditopang oleh dua stimulus utama pemerintah. Pertama, potongan Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) sebesar 10 persen, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 12 Tahun 2025. Syarat untuk menikmati program ini adalah model yang dipasarkan harus berstatus completely knocked down (CKD) atau dirakit lokal dengan nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) minimal 40 persen.

Stimulus kedua adalah insentif untuk mobil listrik completely built up (CBU) yang diimpor utuh. Kebijakan ini bertujuan memfasilitasi jenama baru yang ingin menjajaki pasar Indonesia, dengan syarat adanya komitmen investasi berupa pembangunan pabrik. Regulasi ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 6 Tahun 2022 Juncto Nomor 28 Tahun 2023. Kedua regulasi insentif ini akan berakhir pada 31 Desember 2025.

Komitmen Investasi dan TKDN Jadi Kunci

Yannes menilai, berakhirnya insentif akan menjadi penentu kondisi nyata persaingan di segmen kendaraan elektrifikasi. Menurutnya, hanya merek yang memiliki rencana jangka panjang dan investasi serius yang akan mampu bertahan.

Advertisement

“Hanya yang punya komitmen investasi yang benar yang bisa jalan. Dia bangun pabrik, bangun industri parts komponen di sini dan itu sekarang sudah mulai dilakukan,” paparnya.

Pasar otomotif nasional diprediksi akan menghadapi tantangan signifikan mulai tahun 2026. Selain ketiadaan insentif khusus, pelemahan daya beli masyarakat, persaingan produk dan harga, serta syarat TKDN yang terus meningkat akan menjadi faktor penentu.

Aturan TKDN untuk manufaktur otomotif diatur melalui Perpres 79/2023. Khusus untuk BEV, model yang diproduksi lokal wajib memenuhi nilai TKDN minimal 40 persen pada periode 2022 hingga 2026. Selanjutnya, pada tahun 2027, pabrikan harus meningkatkan nilai TKDN menjadi 60 persen hingga tahun 2029, dan mencapai 80 persen pada tahun 2030. Ini menjadi target kematangan ekosistem industri bagi setiap pabrikan.

“Begitu TKDN-nya naik terus dari 40 ke 60, lalu 80 persen, yang setengah-setengah itu akan berat. Pada titik tertentu, mereka bisa lemas dan hilang dari pasar. Ini akan menjadi seleksi besar-besaran, yang hanya cangkang akan hilang dengan sendirinya,” tegas Yannes.

Meski demikian, Yannes menambahkan bahwa pekerjaan rumah utama pemerintah adalah meningkatkan pendapatan kelas menengah. “Namun PR (pekerjaan rumah) pertama kita tetap meningkatkan (pendapatan) kelas menengah. Kalau middle income class naik, daya beli ikut naik kalau ekonomi bisa tembus 5,4 persen dan naik jadi 6 persen. Baru belanja otomotif bisa lebih sehat,” pungkasnya.

Advertisement
Mureks