Teknologi

Pengamat: Industri Telekomunikasi Hadapi Gejolak dan Tiga Tantangan Besar pada 2026

Perusahaan telekomunikasi di Indonesia diperkirakan akan menghadapi tiga tantangan signifikan pada tahun 2026. Para pengamat menekankan pentingnya inovasi sebagai langkah strategis untuk mengatasi tekanan yang ada.

Tiga Tantangan Utama Industri Telekomunikasi

Agung Harsoyo, Pengamat Telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), mengidentifikasi tantangan pertama terkait tekanan terhadap profitabilitas. Menurut Agung, meskipun trafik data terus meningkat, Pendapatan Rata-Rata Per Pengguna (ARPU) cenderung stagnan. Di sisi lain, kebutuhan belanja modal untuk pengembangan jaringan, termasuk serat optik dan teknologi generasi kelima (5G), tetap tinggi.

Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!

“Ini menuntut operator lebih efisien dan kreatif dalam monetisasi layanan,” kata Agung saat dihubungi Bisnis pada Selasa (30/12/2025).

Tantangan kedua, lanjut Agung, berasal dari struktur pasar industri telekomunikasi yang semakin kompetitif. Persaingan tidak lagi hanya terjadi antaroperator seluler, tetapi juga melibatkan pemain over-the-top (OTT) hingga penyedia infrastruktur independen.

“Nilai tambah operator tidak lagi cukup hanya menjual konektivitas,” imbuhnya.

Selain itu, faktor regulasi pemerintah juga masih memegang peran krusial dalam memengaruhi keputusan investasi jangka panjang. Hal ini mencakup penataan spektrum frekuensi, biaya hak penggunaan, serta kepastian peta jalan (roadmap) pita frekuensi.

Terkait implementasi 5G, Agung memperkirakan operator seluler akan bersikap selektif dalam melakukan penggelaran jaringan. “Pada wilayah-wilayah dengan demand tinggi dan aplikasi yang memiliki nilai ekonomi relatif bagus di kawasan industri, pelabuhan, manufaktur, dan sejenisnya,” ujarnya.

Peluang di Tengah Gejolak

Di balik berbagai tantangan tersebut, Agung menilai peluang industri telekomunikasi masih terbuka lebar, seiring pertumbuhan ekonomi digital nasional. Menurutnya, peluang tersebut antara lain datang dari pengembangan Internet of Things (IoT), komputasi awan (cloud), kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), hingga pusat data (data center).

Kondisi ini menjadi kesempatan bagi operator telekomunikasi untuk memperluas layanan ke segmen business-to-business (B2B), menyediakan solusi enterprise, serta menjalin kolaborasi dengan berbagai platform digital.

Peluang lain juga muncul dari mulai berkembangnya model bisnis infrastruktur terbuka dan kebijakan berbagi jaringan (network sharing). “Akhir tahun ini nampak adanya model bisnis infrastruktur terbuka/netral seperti fiber optik open access serta diizinkannya secara regulasi untuk network sharing. Hal ini peluang untuk efisiensi biaya sekaligus pemerataan layanan,” kata Agung.

Dia juga menekankan meningkatnya kebutuhan akan layanan yang andal dan aman sebagai ruang bagi operator telekomunikasi untuk mengambil peran yang lebih strategis di masa depan.

Fase Penuh Gejolak dan Inovasi

Senada, Pengamat Telekomunikasi sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Information and Communication Technology (ICT) Institute, Heru Sutadi, menilai periode mendatang akan menjadi fase yang penuh gejolak bagi industri telekomunikasi. Menurutnya, tantangan utama datang dari risiko yang semakin kompleks dan volatil, termasuk meningkatnya ancaman serangan siber serta disrupsi dari pendatang baru, seperti layanan broadband satelit berbiaya rendah dan internet rakyat.

“Untuk itu, perusahaan telekomunikasi harus berinovasi cepat atau kehilangan pasar,” kata Heru saat dihubungi Bisnis pada Selasa (30/12/2025).

Selain tekanan kompetisi dan risiko teknologi, Heru menambahkan isu keberlanjutan juga mulai menjadi perhatian serius industri. Meski demikian, dia melihat peluang besar yang muncul dari integrasi kecerdasan buatan (AI) untuk otomatisasi jaringan, konvergensi embedded Subscriber Identity Module (eSIM), serta rencana pembukaan lelang 5G pada pita frekuensi 700 megahertz (MHz) dan 2,6 gigahertz (GHz) guna memperluas dan meningkatkan layanan broadband di Indonesia.

Menurut Heru, penguatan infrastruktur digital yang mencakup 5G, serat optik, satelit, dan pusat data akan mendorong konektivitas yang lebihandal dan merata. Dia menilai digitalisasi tidak lagi bersifat urban-centric, tetapi mulai menjangkau sektor-sektor produktif di daerah serta komunitas masyarakat yang lebih luas.

Dia berharap pengembangan 5G pada 2026 semakin pesat, menjadi standar global dengan ekspansi infrastruktur yang lebih luas dan integrasi multi-band untuk menjaga keseimbangan antara cakupan (coverage) dan kapasitas. “Dengan 5G ini juga akan mendukung inovasi seperti AI dan transisi menuju 6G. Yang pada gilirannya membuat konektivitas lebih andal dan inklusif. Sehingga, tahun 2026 adalah tahun krusial untuk adopsi massal 5G,” ungkap Heru.

Mureks