Wacana pemilihan tidak langsung kembali mengemuka di tengah sorotan terhadap tingginya biaya politik, maraknya praktik politik uang, dan meningkatnya polarisasi publik. Sistem ini kerap diposisikan sebagai solusi rasional yang menawarkan efisiensi dan potensi penguatan demokrasi perwakilan. Namun, di balik narasi tersebut, terdapat persoalan serius yang berpotensi mempersempit makna demokrasi itu sendiri.
Dalam esensinya, pemilihan umum bukan sekadar mekanisme administratif untuk menghasilkan pemimpin. Ia merupakan simbol kedaulatan rakyat dan instrumen utama akuntabilitas kekuasaan. Perubahan pada mekanisme ini tidak hanya berdampak teknis, melainkan juga sosial dan psikologis yang mendalam.
Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.
Kedaulatan Rakyat yang Tergerus
Pemilihan tidak langsung secara fundamental memindahkan keputusan strategis penentuan pemimpin eksekutif dari tangan publik ke segelintir elite politik. Meskipun rakyat tetap memilih wakilnya, pada titik paling krusial, suara mereka tidak lagi berperan secara langsung dalam menentukan kepala pemerintahan.
Situasi ini menciptakan jurang antara pemimpin dan warga. Legitimasi politik tidak lagi bersandar pada mandat langsung dari rakyat, melainkan pada kesepakatan politik di antara elite. Dalam jangka panjang, kondisi ini berisiko mengikis rasa kepemilikan publik terhadap jalannya pemerintahan.
Efisiensi Semu yang Memperkuat Oligarki
Argumen bahwa pemilihan tidak langsung mampu menekan politik uang memang terdengar masuk akal secara teoritis. Namun, dalam praktiknya, politik uang tidak serta-merta menghilang. Ia hanya berubah bentuk dan cenderung menjadi lebih terpusat. Dengan jumlah pemilih yang terbatas, transaksi politik justru lebih mudah dilakukan dan semakin sulit diawasi oleh publik.
Kompetisi gagasan di ruang terbuka perlahan tergeser oleh lobi-lobi tertutup, kompromi antar elite, dan pertukaran kepentingan. Dalam konteks ini, efisiensi yang dijanjikan bukan melahirkan pemerintahan yang lebih bersih, melainkan justru memperlancar kerja oligarki.
Pergeseran Akuntabilitas dan Risiko Kebijakan
Mekanisme pemilihan menentukan kepada siapa seorang pemimpin merasa bertanggung jawab. Dalam sistem pemilihan langsung, pemimpin memiliki ketergantungan kuat pada kepercayaan pemilih. Sebaliknya, dalam pemilihan tidak langsung, ketergantungan tersebut beralih kepada partai, fraksi, atau elite politik yang menjadi penentu akses kekuasaan.
Konsekuensinya sangat nyata. Kebijakan publik menjadi lebih rentan disandera oleh kepentingan koalisi politik. Ketika terjadi kinerja pemerintahan yang buruk, rakyat kehilangan instrumen koreksi yang paling efektif, yaitu sanksi elektoral langsung.
Representasi yang Tidak Menggantikan Legitimasi
Seringkali diasumsikan bahwa wakil rakyat dapat sepenuhnya menggantikan suara publik dalam menentukan pemimpin. Asumsi ini problematis. Wakil rakyat dipilih untuk menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan, bukan untuk mengambil alih hak rakyat dalam menentukan pemimpin eksekutif.
Ketika kedua fungsi tersebut disatukan, kualitas keduanya justru berpotensi melemah. Wakil rakyat memikul mandat yang berlebihan, sementara legitimasi pemimpin kehilangan basis langsung dari rakyat.
Ancaman Apatisme Politik
Dampak paling berbahaya dari pemilihan tidak langsung adalah potensi munculnya apatisme politik. Ketika warga merasa suara mereka tidak lagi menentukan, partisipasi politik kehilangan maknanya. Sinisme terhadap sistem politik tumbuh subur, kepercayaan terhadap demokrasi menurun, dan ruang publik menjadi semakin kosong dari keterlibatan warga.
Demokrasi yang kehilangan partisipasi aktif dari rakyat bukanlah demokrasi yang stabil. Ia mungkin tampak tenang di permukaan, namun sejatinya rapuh di dalam.
Kesimpulan: Langkah Mundur Demokrasi
Pemilihan tidak langsung mungkin menawarkan efisiensi prosedural, namun hal itu harus dibayar mahal dengan mengorbankan substansi demokrasi. Dalam lanskap politik yang masih kental dengan patronase dan dominasi elite, sistem ini lebih berisiko memperkuat oligarki daripada meningkatkan kualitas kepemimpinan.
Masalah-masalah dalam demokrasi tidak dapat diselesaikan dengan mengecilkan peran rakyat. Perbaikan sejati hanya bisa dicapai melalui penguatan institusi, peningkatan integritas politik, dan perluasan partisipasi publik. Tanpa langkah-langkah tersebut, pemilihan tidak langsung hanyalah sebuah langkah mundur yang dibungkus dengan narasi rasionalitas.






