Dalam kekayaan leksikal bahasa Indonesia, terdapat sejumlah kata yang mungkin jarang terdengar dalam percakapan sehari-hari, namun menyimpan kedalaman makna yang luar biasa. Salah satunya adalah sublema “mengunggis”, yang berasal dari lema “unggis”. Kata ini memiliki posisi unik, terutama dalam konteks tindakan fisik, dan menawarkan nuansa yang berbeda dari kata kerja sejenis lainnya.
Sublema “mengunggis” secara denotatif berarti “makan sedikit demi sedikit”. Tindakan ini melibatkan gerakan halus, berulang, dan berkelanjutan, dengan dominasi penggunaan gigi depan. Kita dapat membayangkan aktivitas ini saat seseorang menikmati biji-biji jagung rebus yang menempel di bonggolnya, atau ketika seekor kelinci memakan wortel untuk camilannya.
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
Nuansa Berbeda dari Kata Kerja Sejenis
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi VI Dalam Jaringan (KBBI VI Daring), “mengunggis” memiliki padanan kata seperti “mengerip” (dari lema “kerip”), “mengerumit” (dari lema “kerumit”), dan “mengerikiti” (dari lema “kerikit”). Semua verba ini pada dasarnya menunjukkan aktivitas memakan sesuatu secara perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit, baik oleh manusia maupun binatang.
Namun, penting untuk membedakan “mengunggis” dan kawan-kawannya dengan sublema “menggigit” (dari lema “gigit”), “mengunyah” (dari lema “kunyah”), dan “mengerat” (dari lema “kerat”). Perbedaan nuansa makna ini terletak pada intensitas dan efek yang ditimbulkan.
- Mengunggis dan padanannya merujuk pada gerakan yang halus, berulang, dan berkelanjutan, dengan gigi depan yang dominan. Kegiatan ini dapat kita bayangkan terjadi saat seseorang memakan jagung rebus atau bakar, atau seekor tupai memakan wortel atau daging kelapa.
- Menggigit memiliki efek destruktif yang jauh lebih kuat karena melibatkan aktivitas motorik rahang dan gigi, dengan tekanan, cengkeraman, dan penetrasi. Seperti dalam kutipan berikut:
“Petani itu begitu lapar setelah seharian membanting tulang di ladang. Dia begitu terburu menggigit roti gandum keras bekalnya. Tak peduli dengan teksturnya yang agak alot.”
Kata “menggigit” menyiratkan kekuatan dan kepraktisan pemenuhan energi yang mendesak. - Mengunyah atau memamah (dari lema “mamah”) mengacu pada tindakan menghancurkan atau melumatkan makanan dengan gigi di dalam mulut sebelum menelannya. Contohnya:
“Pandangan pria tua itu terarah pada senja memerah yang menyemburat di horizon barat. Dengan tenang dia mengunyah (memamah) sepotong ketela goreng yang masih hangat. Di sampingnya, sang istri tercinta dengan senyum di bibir, tengah menyeduh segelas teh tubruk kesukaannya.”
- Mengerat, meski kerabat dekat “mengunggis”, lebih lazim dilakukan oleh hewan pengerat (Rodentia) dan cenderung menimbulkan efek yang lebih merusak. Misalnya:
“Tikus biasanya mengerat berbagai macam bahan lunak hingga cukup keras. Sebagai hewan omnivor, pemakan segala, dan sangat oportunis, mulai dari biji-bijian, buah, sayuran, serangga, daging (bahkan bangkai), hingga sisa makanan manusia dan hewan peliharaannya. Tikus juga mengerat kayu, plastik, kabel listrik, kertas, dan kain. Bukan untuk memakannya, melainkan bertujuan agar giginya tetap pendek dan tajam.”
Pada intinya, “mengunggis” secara semantik termasuk dalam medan makna aktivitas oral yang menyiratkan ketekunan dan kesabaran, bukan keinginan untuk makan tergesa-gesa atau dalam jumlah banyak sekaligus. Pemanfaatannya dalam wacana menghadirkan efek visual yang tegas tentang cara subjek berinteraksi dengan makanannya, memberikan kesan pengikisan secara perlahan namun pasti.
Sisi Makna Konotasi yang Kaya
Selain makna denotatif, sublema “mengunggis” juga memiliki sisi makna konotasi yang mendalam, lahir dari asosiasi perasaan atau nilai rasa tertentu. Memahami konotasi ini membutuhkan ketelitian dalam mencermati bagaimana tindakan fisik dapat bertransformasi menjadi simbolis atau emosional.
Berikut adalah beberapa contoh makna konotatif dari “mengunggis”:
- Menggerogoti Waktu Produktif: Konotasi ini merujuk pada sesuatu yang secara perlahan menggerogoti waktu produktif seseorang untuk kegiatan yang seharusnya bermanfaat. Contohnya dalam frasa “mengunggis waktu”:
“Kekhawatiran terus-menerus terhadap masa depan, tanpa aksi tindakan nyata, hanya akan mengunggis waktu berharga yang seharusnya untuk membangun fondasi yang lebih kuat di masa kini.”
- Perjuangan Menghadapi Nasib: Menggambarkan perjuangan seseorang dengan kesabaran dan keteguhan hati secara perlahan namun intens dalam menghadapi persoalan pelik, terepresentasikan dalam frasa “mengunggis nasib”. Contoh kalimat:
“Dia terus mengunggis nasib buruknya dengan ketekunan dan doa, walaupun badai cobaan silih berganti memorak-porandakan hidupnya.”
- Erosi Eksistensial Jiwa: Konotasi tentang kehancuran jiwa secara perlahan atau erosi eksistensial, mendeskripsikan rasa bersalah yang berbuah penyesalan berkepanjangan. Frasa “mengunggis jiwa” mewakili proses pengeroposan hati dengan rasa sakit yang tak terperikan.
“Rasa bersalah akibat keputusannya bertahun lalu mengunggis jiwanya setiap malam. Dia seolah menjadi tawanan yang tak berdaya dari kenangan pahit masa silamnya.”
- Kompensasi Ketidaktenangan Mental: Menggambarkan kondisi mental seseorang yang tidak tenang, ragu, atau tidak berdaya dalam menghadapi situasi besar, yang dilampiaskan melalui tindakan kecil repetitif. Frasa “mengunggis ujung jari” mewadahi makna konotatif ini.
“Adi tak kuasa meredakan ketidaktenangan hatinya saat menunggu hasil ujian akhir semester di website universitas tempatnya belajar. Ini pengalaman pertama baginya. Di rumahnya, Adi berdiri mematung sambil mengunggis ujung jarinya hingga kulit di sekitar kukunya memerah dan terasa perih.”
- Hubungan Sosial yang Parasitis: Mendeskripsikan tindakan seseorang yang secara perlahan memanfaatkan orang lain dengan permintaan kecil atau manipulasi halus, yang lama-kelamaan mengikis habis sumber daya, baik materi maupun emosi. Penggunaan “mengunggis” menekankan proses penggerogotan yang berdikit-dikit namun persisten.
“Persahabatan mereka kini menunjukkan potret buram kemanusiaan. Sebab, salah satu pihak berlaku laksana benalu yang terus mengunggis tabungan dan aset rekannya demi memenuhi gaya hidup mewah yang tidak realistis. Tanpa pernah mau bekerja keras dengan tangan dan pikiran sendiri.”
- Mengorek Luka Lama atau Mencari Masalah: Konotasi ini merujuk pada tindakan mencari-cari masalah atau mengungkit kembali luka lama. Contohnya:
“Tiap kali ada pertemuan keluarga, dia senantiasa mengunggis masalah warisan yang belum kunjung selesai. Hal itu menimbulkan suasana hubungan antaranggota keluarga iti menjadi kurang menyenangkan.”
- Membongkar Kasus Secara Mendalam: Konotasi untuk mencari tahu atau membongkar suatu kasus secara mendalam hingga ke akar-akar persoalannya. Contoh dalam kalimat:
“Para jurnalis investigasi sedang berusaha mengunggis pelbagai data korupsi pejabat itu yang kini masih tersembunyi dengan begitu rapat.”
Secara keseluruhan, “mengunggis” merupakan sublema yang kaya akan makna konotatif, dan kebanyakan cenderung mengusung nilai rasa negatif, bertalian erat dengan tindakan mengganggu, menyakitkan secara emosional, atau merugikan pihak lain.
Relevansi dalam Sastra dan Tantangan di Era Modern
Pemahaman yang cermat terhadap sublema “mengunggis” menjadi sangat urgen, terutama untuk menuangkan gagasan melalui karya sastra, baik prosa maupun puisi. Diksi dengan muatan konotasi yang presisi dan rinci berpotensi menggugah emosi dan mengkreasikan kedalaman ekspresi. Dalam prosa yang mendamba detail, penggunaan diksi “mengunggis” dapat membangun suasana sunyi, seperti bunyi kersik halus yang mendeskripsikan kehadiran hama di tengah malam, atau karakter yang tercekam kegelisahan hingga menggigit ujung jari atau kuku.
Meskipun statusnya baku dan tercatat resmi di KBBI VI Daring, “mengunggis” relatif jarang muncul dalam aktivitas berbahasa sehari-hari di era modern. Kedudukannya telah tergeser oleh kata “menggigit” yang frekuensi pemunculannya lebih tinggi. Dalam faktor psikolinguistik dan kemudahan akses mental, kata yang lebih sering digunakan biasanya lebih mudah diakses dalam leksikon mental seseorang.
Terdapat lingkaran umpan balik positif: semakin sering sebuah kata digunakan, semakin kuat representasi mentalnya, dan semakin mudah kata itu muncul kembali saat dibutuhkan. Kelekatan suatu kata di leksikon mental juga terelasi dengan usia pemerolehan bahasa; kata-kata yang dipelajari sejak dini cenderung memiliki frekuensi pemunculan yang tinggi. “Mengunggis” mungkin bukan kata yang dipelajari sejak dini, sehingga risiko tip-of-the-tongue (ketidakmampuan memanggil kata) bisa saja terjadi.
Pada intinya, pemanfaatan “mengunggis” secara tepat dapat memperkaya perbendaharaan diksi seseorang, memberikan keleluasaan untuk memilih kata yang paling presisi dengan makna yang dikehendaki. Kata ini juga dikenal sebagai “kata cantik” di kalangan penyair dan pengarang fiksi karena kemampuannya menghadirkan citraan yang kuat, bahkan memunculkan tiruan bunyi implisit (onomatopoeia implisit) dari gesekan gigi depan dan makanan agak keras.
Memahami sisi konotatif dari “mengunggis” berarti juga memahami bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan cermin bagaimana manusia mengarungi samudra rasa dalam menjalani proses kehidupan. Kata ini menawarkan perspektif untuk memberikan perhatian terhadap hal-hal kecil yang, kendati terlihat tidak berarti, memiliki kekuatan untuk mengubah atau bahkan menghabiskan segala sesuatu secara keseluruhan, terlebih jika diabaikan tanpa antisipasi.






