Tren

Membuka Ruang Karier Peneliti di Kampus: Harapan Baru atau Sentralisasi Riset Perguruan Tinggi?

Gagasan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk membuka opsi jabatan fungsional peneliti di lingkungan perguruan tinggi Indonesia kembali mencuat. Ide yang dilontarkan Kepala BRIN, Arif Satria, ini sekilas terdengar teknokratis, namun menyimpan implikasi besar bagi masa depan riset dan arah epistemik kampus di Tanah Air.

Wacana ini hadir di tengah kondisi perguruan tinggi Indonesia yang selama ini lebih sering diperlakukan sebagai teaching university ketimbang universitas riset. Aktivitas riset dan publikasi memang dilakukan, namun kerap hanya menjadi instrumen administratif, seperti syarat kenaikan pangkat, pemenuhan borang, atau formalitas hibah. Dalam struktur yang demikian, peneliti non-dosen nyaris tak memiliki ruang hidup dan pengakuan yang layak.

Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.

Ketika BRIN membuka kemungkinan lahirnya jabatan fungsional peneliti di perguruan tinggi, sesungguhnya yang dipertaruhkan bukan hanya soal jenjang karier. Lebih dari itu, ini menyangkut arah kampus itu sendiri: apakah universitas sungguh-sungguh ingin menjadi pusat produksi pengetahuan, atau sekadar pabrik ijazah yang dibalut jargon riset.

Kendati demikian, harapan besar ini tentu tidak datang tanpa tanda tanya. Kebijakan tersebut dapat menjadi pintu masuk bagi lahirnya ekosistem universitas riset yang otonom dan berdaya. Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa ini justru membuka babak baru sentralisasi riset di bawah logika birokrasi negara.

Pertanyaan krusial muncul: apakah peneliti kampus akan berdiri sebagai subjek akademik yang merdeka, atau hanya perpanjangan tangan institusi riset negara di ruang universitas? Pada posisi inilah, gagasan BRIN perlu diuji secara kritis agar janji era baru universitas riset tidak berhenti sebagai slogan, melainkan benar-benar menjelma sebagai transformasi.

Belajar dari Dunia: Model Universitas Riset Global

Wacana menjadikan kampus sebagai universitas riset bukanlah hal baru di tingkat global. Berbagai negara telah menerapkan model yang memisahkan atau memperkuat jalur karier peneliti secara independen dari kewajiban mengajar.

  • Jerman: Universitas di Jerman tidak hanya diisi oleh profesor dan dosen, tetapi juga oleh peneliti full-time yang memiliki status, jenjang karier, dan pengakuan profesional yang jelas. Lembaga seperti Max Planck Society dan Fraunhofer Society menunjukkan bagaimana peneliti dapat bekerja di persimpangan antara universitas, negara, dan industri, tanpa harus dibebani kewajiban mengajar. Di sana, riset bukan aktivitas sampingan, melainkan inti dari kerja akademik yang dilindungi dan dihargai.
  • Inggris: Sejak lama, Inggris memisahkan jalur karier teaching-focused academic dan research-focused academic. Melalui skema research-only contracts, banyak peneliti universitas bekerja penuh waktu untuk riset dan publikasi, dengan pembiayaan yang terhubung langsung ke lembaga nasional, seperti UK Research and Innovation (UKRI). Model ini membuat universitas tidak lagi bergantung pada “dosen serba bisa”, melainkan membangun ekosistem riset berbasis kolaborasi dan spesialisasi. Dampaknya terlihat jelas: riset kampus di Inggris relatif stabil, kompetitif, dan berpengaruh secara global.
  • Korea Selatan: Transformasi universitas menjadi institusi penggerak riset berlangsung seiring dengan kebijakan negara yang agresif mendukung riset. Banyak universitas riset memiliki profesor riset atau research fellow yang tidak diwajibkan mengajar, tetapi difokuskan pada inovasi, paten, dan kolaborasi industri. Negara memastikan bahwa peneliti kampus tidak terjebak dalam birokrasi administratif, melainkan diberi ruang kebebasan akademik untuk menghasilkan pengetahuan dan teknologi strategis.

Dari pengalaman berbagai negara tersebut, satu pelajaran penting dapat ditarik: universitas riset tidak lahir dari slogan, melainkan dari pengakuan struktural bahwa peneliti adalah profesi otonom.

Dorongan universitas riset juga dipertegas oleh Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Stella Christie. Ia menilai bahwa universitas tidak bisa lagi berhenti sebagai ruang pengajaran semata. Dalam pernyataannya, Stella mengingatkan bahwa “negara-negara yang mampu melompat secara ekonomi, seperti Jerman, Amerika Serikat, dan China, lebih dahulu menata universitasnya sebagai pusat riset dan inovasi, meski dampaknya baru terasa puluhan tahun kemudian.”

Pesan ini penting: riset bukan jalan pintas, melainkan investasi jangka panjang yang menuntut konsistensi kebijakan dan keberanian negara. Maka, ketika negara meminta kampus bertransformasi menjadi universitas riset, tanggung jawabnya tidak bisa dibebankan sepihak kepada universitas. Negara juga harus memastikan ekosistem riset yang adil, peneliti yang diakui secara struktural, serta kebebasan akademik yang dijaga agar inovasi tidak lahir dari tekanan, melainkan dari kemerdekaan berpikir.

Jika Indonesia, melalui BRIN, serius membuka jabatan fungsional peneliti di perguruan tinggi, maka kebijakan ini semestinya diarahkan bukan hanya sebagai penataan administratif. Lebih jauh, ini harus menjadi fondasi perubahan paradigma. Tanpa itu, universitas akan terus terjebak pada riset simbolik. Sebaliknya, dengan desain yang tepat, kampus dapat benar-benar menjelma sebagai ruang produksi pengetahuan yang merdeka dan berdampak.

Mureks