Teknologi

Kecanduan Gadget Anak Kian Mengkhawatirkan, Orang Tua Rela Rogoh Kocek Ratusan Juta untuk Detoks Digital

Kebiasaan anak yang terlalu lama menatap layar atau kecanduan gadget kini menjadi persoalan serius bagi banyak keluarga. Demi mengatasi masalah ini, tak sedikit orang tua yang rela mengeluarkan biaya fantastis, bahkan hingga ratusan juta rupiah, untuk program detoks digital.

Permintaan terhadap layanan semacam ini terus meningkat seiring makin banyaknya orang tua yang kewalahan mengontrol aktivitas anak di depan layar. Menurut laporan The Washington Post via Digitaltrends yang dikutip Senin (29/12/2025), beberapa kamp detoks digital mematok biaya hingga USD 8.000 atau sekitar Rp133 juta untuk program empat minggu tanpa ponsel. Selama periode tersebut, anak-anak mengikuti berbagai aktivitas tanpa akses internet sama sekali.

Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!

Temuan Pew Research Center juga menunjukkan bahwa 73 persen orang tua merasa anak-anak mereka membutuhkan jeda dari teknologi. Angka ini mencakup 68 persen orang tua dengan anak berusia di bawah enam tahun. Selain kamp khusus, keluarga juga mulai memanfaatkan jasa pelatih penggunaan gawai, aplikasi kontrol orang tua, hingga bergabung dengan kelompok pendampingan daring untuk mengurangi apa yang mereka sebut sebagai “kecanduan layar”. Situasi ini semakin kompleks dengan hadirnya teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI) yang telah diperkenalkan kepada anak sejak usia dini, memicu kekhawatiran baru di kalangan pakar.

Mengapa Ini Jadi Sorotan?

Skala masalah dan tingginya biaya layanan detoks digital menggambarkan betapa sulitnya tantangan yang dihadapi keluarga saat ini. Batasan waktu layar yang selama ini diterapkan kerap tidak mampu mengimbangi perkembangan aplikasi, trik “bypass” yang ditemukan anak, hingga chatbot AI yang tidak selalu aman bagi mereka.

Data lain mencatat sekitar 25 persen anak di bawah 12 tahun sudah memiliki ponsel pribadi, sementara mayoritas lainnya menggunakan tablet atau perangkat pinjaman. Meskipun 86 persen orang tua mengklaim memiliki aturan terkait waktu layar, sebagian besar mengakui aturan tersebut baru berjalan ketika situasi memungkinkan. Banyak orang tua merasa kini harus berperan ganda sebagai teknisi IT, filter konten, pendidik tentang penipuan digital, hingga pendamping emosi—peran yang sebelumnya tidak pernah mereka bayangkan.

Bagi orang tua yang sedang berjuang membatasi penggunaan gawai anak, data ini menunjukkan bahwa mereka tidak sendirian. Banyak keluarga mengaku kewalahan menghadapi derasnya teknologi, mulai dari algoritma media sosial, aplikasi chat anonim, chatbot AI, hingga mainan pintar berbasis AI yang dapat merespons tanpa filter. Bahkan, beberapa anak dilaporkan mampu melewati kontrol orang tua dengan menggunakan aplikasi samaran, seperti aplikasi “kitab suci palsu” yang sebenarnya memungkinkan mereka menonton video atau mengobrol diam-diam, melewati pengawasan orang tua. Para ahli menilai masalah utamanya muncul karena teknologi yang tidak dirancang khusus untuk anak. Fitur keamanan yang tersedia pun sering kali hanya sekadar pelengkap, sehingga orang tua perlu menyiapkan pengamanan tambahan.

Langkah yang Perlu Dilakukan

Para ahli menegaskan bahwa persoalan ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengandalkan uang. Salah satu saran yang paling sering disampaikan adalah menunda pemberian smartphone selama mungkin. Sebab, mengambilnya kembali ketika anak sudah terlanjur terbiasa justru dapat memicu konflik.

Sementara itu, para pelatih teknologi menekankan perlunya aturan yang dibarengi komunikasi rutin agar anak belajar menetapkan batasan secara mandiri. Lebih jauh, para spesialis menegaskan tujuan utama bukan melarang penggunaan perangkat sepenuhnya, melainkan mengarahkan anak agar memanfaatkan teknologi untuk belajar, berkreasi, dan mengembangkan diri—bukan sekadar terpaku pada layar tanpa henti.

Mureks