Teknologi

Kesenjangan Adopsi AI di Manufaktur Kian Lebar: Hanya 3% Perusahaan Menengah Terapkan Integrasi Penuh

Sebuah jurang pemisah yang mengkhawatirkan kini semakin terlihat jelas dalam industri manufaktur global. Ketika konglomerat manufaktur raksasa gencar mengintegrasikan kecerdasan buatan (AI) ke dalam sistem data mereka, perusahaan skala menengah justru tertinggal jauh, berisiko kehilangan daya saing di pasar yang semakin didorong oleh data.

Temuan signifikan ini terungkap dalam laporan terbaru berjudul “Elevating Manufacturing Value” yang dirilis oleh Zebra Technologies dan Oxford Economics pada Senin, 29 Desember 2025. Laporan tersebut menyoroti perbedaan tajam dalam “kematangan data” antara perusahaan berdasarkan ukurannya.

Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!

Jurang Kematangan Data yang Mencolok

Statistik dalam laporan menunjukkan bahwa hampir 9 dari 10 atau sekitar 90% produsen “Sangat Besar” (dengan pendapatan di atas USD10 miliar) kini telah memiliki lingkungan manajemen data yang terintegrasi penuh. Lingkungan ini dilengkapi dengan wawasan berbasis AI yang tertanam di seluruh organisasi mereka, memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih cepat dan akurat.

Namun, kondisi berbanding terbalik terjadi pada perusahaan manufaktur menengah. Hanya 3% dari perusahaan dengan pendapatan antara USD100 juta hingga USD999,9 juta yang memiliki kemampuan serupa. Mayoritas perusahaan menengah ini melaporkan bahwa kemampuan analisis data mereka masih dilakukan di area terbatas atau bahkan terkotak-kotak (silo), yang secara signifikan menghambat pengambilan keputusan strategis secara real-time.

Definisi Otomasi yang Berbeda

Kesenjangan ini juga tercermin dari cara kedua kelompok perusahaan tersebut memandang konsep otomasi. Bagi raksasa manufaktur, otomasi adalah tentang kecanggihan dan inovasi. Sebanyak 70% perusahaan sangat besar mendefinisikan pendekatan otomasi mereka sebagai integrasi analitik canggih serta AI/Machine Learning (ML) untuk mengoptimalkan kinerja operasional.

Di sisi lain, bagi perusahaan menengah, otomasi memiliki arti yang jauh lebih sederhana. Hanya 8% dari mereka yang melihat otomasi sebagai integrasi AI/ML. Sebaliknya, mayoritas, yakni 65% perusahaan menengah, mendefinisikan otomasi hanya sebatas penggunaan perangkat lunak dan alat digital untuk merampingkan alur kerja dan menghilangkan tugas-tugas manual. Perbedaan pola pikir ini mengindikasikan bahwa perusahaan menengah masih berada di tahap awal kematangan digital, sementara pesaing yang lebih besar sudah melangkah ke tahap optimalisasi cerdas.

Dampak pada Optimalisasi Alur Kerja dan Tantangan Teknologi Warisan

Dampak dari kesenjangan teknologi ini terlihat nyata di lantai pabrik. Perusahaan yang sangat besar dilaporkan lebih sukses dalam memperbaiki alur kerja yang kompleks, seperti pergerakan material (material movement), manajemen peralatan, dan kontrol kualitas, dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang lebih kecil. Kemampuan manajemen data yang matang diduga menjadi faktor pendorong utama di balik keberhasilan optimalisasi alur kerja mereka.

Meskipun terdapat perbedaan kemampuan yang tajam, kedua kelompok ini menghadapi musuh yang sama: teknologi warisan (legacy technology). Sebanyak 56% responden menyebut teknologi lama sebagai hambatan utama perbaikan alur kerja. Angka ini bahkan lebih tinggi daripada kekhawatiran soal keamanan data atau biaya pelatihan.

Seorang direktur teknik di sebuah perusahaan manufaktur global yang diwawancarai dalam laporan tersebut memberikan peringatan penting bagi industri. “Bukan yang terkuat atau terpintar yang akan bertahan, melainkan yang paling mampu beradaptasi,” ujarnya. Bagi perusahaan menengah, pesan ini menjadi sinyal mendesak untuk segera memodernisasi infrastruktur data mereka atau bersiap tertinggal oleh pesaing yang lebih lincah dan cerdas dalam menghadapi era industri 4.0.

Mureks