Penghentian insentif mobil listrik (BEV) pada tahun 2026 berpotensi menghilangkan manfaat ekonomi senilai Rp 544 triliun bagi Indonesia. Institute for Essential Services Reform (IESR) memperingatkan dampak serius kebijakan ini terhadap ketahanan energi nasional dan perkembangan industri otomotif hijau.
Fabby Tumiwa, CEO IESR, menyoroti bahwa penggunaan BEV sejatinya sejalan dengan visi kemandirian energi yang dicanangkan Presiden Prabowo. Analisis IESR menunjukkan bahwa setiap satu unit BEV yang menempuh jarak 20 ribu kilometer dapat mengurangi impor sekitar 1.320 liter bahan bakar minyak (BBM).
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
“Dengan jumlah BEV yang telah mencapai sekitar 140 ribu unit per Oktober 2025, Indonesia berpotensi menghemat 185 ribu kiloliter BBM dan biaya kompensasi energi hingga Rp 315 miliar dalam satu tahun, sekaligus menurunkan emisi,” demikian urai lembaga tersebut dalam keterangan resmi pada Jumat (26/12/2025).
Namun, momentum positif ini terancam melemah jika pemerintah benar-benar menghentikan insentif kendaraan listrik tahun depan. IESR menilai, nihilnya stimulus seperti pembebasan bea masuk impor BEV serta potongan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen akan mendorong harga mobil listrik melambung tinggi dan mengubah dinamika pasar otomotif nasional.
Dampak pada Industri dan Adopsi BEV
Dampak penghentian insentif tersebut dapat menekan penjualan kendaraan listrik dan menghambat perkembangan industri pendukung, termasuk baterai dan komponen BEV. Selain itu, langkah ini berpotensi memperlambat adopsi BEV di masyarakat.
IESR juga menekankan bahwa perlambatan adopsi BEV akan berdampak langsung pada upaya pengurangan konsumsi dan impor BBM. Padahal, momentum pertumbuhan kendaraan listrik saat ini dinilai krusial untuk mendorong permintaan secara eksponensial dan menciptakan ekosistem industri pendukung, khususnya baterai.
Lebih jauh, lembaga tersebut mencatat potensi manfaat ekonomi hingga Rp 544 triliun yang dapat terwujud dari industri baterai terintegrasi dari hulu ke hilir hingga tahun 2060. Nilai tersebut bahkan disebut masih berpeluang bertambah di luar keseluruhan ekosistem BEV.
IESR memahami bahwa kebijakan insentif pada awalnya memang dirancang sebagai stimulus jangka pendek untuk menarik investor awal di sektor manufaktur. Meski demikian, program tersebut dinilai tetap layak dilanjutkan apabila terbukti memberikan manfaat ekonomi dan strategis yang signifikan bagi Indonesia.
Tantangan TKDN dan Penyerapan Pasar
Saat ini, jumlah merek yang berkomitmen membangun fasilitas produksi mandiri di Tanah Air masih dinilai belum cukup untuk menciptakan pasar yang sehat. Pemerintah sendiri telah menetapkan peta jalan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), dengan target minimal 40 persen hingga 2026, meningkat menjadi 60 persen mulai 2027, dan mencapai 80 persen pada 2030.
Studi IESR menunjukkan bahwa insentif berperan signifikan dalam mendorong penyerapan BEV. Hingga Oktober 2025, penjualan mobil listrik di Indonesia tercatat mencapai 68.827 unit, dengan mayoritas merupakan model yang mendapat insentif pemerintah.
Sebagai pembanding, penjualan motor listrik justru anjlok hingga 80 persen pada kuartal pertama 2025 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, akibat insentif yang tak kunjung diterbitkan hingga akhir tahun.
Elektrifikasi sebagai Tulang Punggung Penurunan Emisi
Fabby Tumiwa menegaskan, elektrifikasi kendaraan bermotor merupakan tulang punggung penurunan emisi di sektor transportasi. Kontribusinya diperkirakan dapat mencapai 45–50 persen dari total penurunan emisi sektor tersebut.
“Manfaatnya akan lebih besar jika dikombinasikan dengan strategi komprehensif melalui pendekatan Avoid–Shift–Improve, yang berpotensi menurunkan emisi hingga 76 persen dalam jangka panjang dan sekitar 18 persen pada 2030,” kata Fabby.
Menurutnya, percepatan elektrifikasi membutuhkan implementasi kebijakan, regulasi, dan insentif yang konsisten serta saling menguatkan. Reformasi subsidi BBM juga dinilai mendesak, lantaran selama ini melemahkan daya saing kendaraan listrik.
Atas dasar itu, IESR mendorong pemerintah untuk mengkaji ulang rencana penghentian insentif BEV. Pasalnya, sejumlah produsen masih dalam tahap pembangunan pabrik di Indonesia, dan insentif dinilai krusial untuk menarik investasi baru agar tidak berpindah ke negara ASEAN lain.






