Teknologi

ICSF Peringatkan Ancaman Siber Indonesia 2026 Makin Kompleks, Soroti Peran Orang Dalam dan AI

Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja memperingatkan bahwa lanskap ancaman siber di Indonesia pada tahun 2026 akan semakin kompleks, tidak hanya berpusat pada teknologi. Tantangan utama diprediksi berasal dari faktor manusia, tata kelola, regulasi, serta kolaborasi lintas sektor yang belum solid. Salah satu isu krusial yang disoroti adalah peningkatan ancaman dari dalam organisasi atau insider threat.

Ancaman ini seringkali terabaikan karena pelakunya memiliki akses legal terhadap sistem dan data sensitif. Ardi Sutedja menjelaskan,

“Faktor humanis seperti kelalaian, ketidaktahuan, tekanan ekonomi, hingga motif spionase menjadi pemicu utama terjadinya insiden siber yang merugikan,”
ujarnya, dikutip dari Bisnis pada Senin (29/12/2025). Data global, menurut Ardi, menunjukkan bahwa insiden siber yang melibatkan pihak internal seringkali menimbulkan dampak lebih besar dibandingkan serangan eksternal. Hal ini disebabkan akses pelaku terhadap data sensitif dan sistem inti.

Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.

Di Indonesia, risiko insider threat diperparah oleh belum meratanya kesadaran keamanan siber di kalangan sumber daya manusia. Banyak organisasi masih fokus pada investasi infrastruktur teknologi, namun belum diimbangi dengan pembentukan budaya keamanan digital. Padahal, penguatan literasi siber, pelatihan berkelanjutan, serta sistem deteksi dini terhadap perilaku mencurigakan merupakan fondasi penting untuk menekan risiko internal.

Peran Krusial Asuransi Siber

Selain faktor sumber daya manusia, Ardi juga menyoroti peran cyber insurance atau asuransi siber yang diprediksi akan semakin relevan. Hal ini seiring dengan maraknya kasus ransomware, kebocoran data, dan potensi tuntutan hukum. Kerugian akibat serangan siber tidak hanya mengganggu operasional, tetapi juga berpotensi merusak reputasi dan kepercayaan pelanggan.

Namun, pengembangan asuransi siber di Indonesia masih menghadapi sejumlah kendala. Kendala tersebut meliputi pemahaman risiko yang terbatas, penyesuaian produk dengan regulasi domestik, hingga mekanisme klaim yang belum sederhana. Edukasi kepada pelaku usaha dan penguatan regulasi dinilai krusial agar cyber insurance dapat menjadi instrumen mitigasi risiko yang efektif.

Pemerintah juga didorong untuk memperkuat regulasi dan pengawasan terhadap industri asuransi siber, guna memastikan perlindungan yang optimal dan terpercaya. Transparansi dalam proses klaim, serta kolaborasi antara perusahaan asuransi dan regulator, disebut Ardi sebagai kunci agar cyber insurance menjadi solusi efektif menghadapi ancaman siber di masa depan.

Kolaborasi Lintas Sektor dan Diplomasi Siber

ICSF menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat. Sinergi ini bertujuan untuk membangun ketahanan siber nasional yang tangguh dan adaptif. Regulasi yang responsif, sistem pelaporan insiden yang transparan, serta kemampuan respons cepat terhadap serangan menjadi fondasi utama dalam menghadapi ancaman lintas batas.

Indonesia, menurut ICSF, perlu mempercepat pembentukan kerangka kerja yang jelas, termasuk Unified Cyber Command. Unit ini diharapkan mampu merespons ancaman secara terintegrasi dan profesional. Selain itu, Indonesia didorong untuk aktif dalam kerja sama regional dan global melalui diplomasi siber, mengingat ancaman siber bersifat lintas negara dan kerap melibatkan jaringan internasional. Pertukaran informasi dan strategi mitigasi menjadi kebutuhan mendesak.

Tantangan dan Peluang Kecerdasan Buatan (AI)

Di sisi lain, perkembangan kecerdasan buatan (AI) menghadirkan peluang sekaligus risiko baru dalam keamanan siber. AI dapat dimanfaatkan untuk memperkuat sistem deteksi dan respons insiden. Namun, pada saat bersamaan, teknologi ini juga berpotensi digunakan oleh pelaku kejahatan siber untuk melakukan social engineering dan serangan yang lebih canggih.

Ardi Sutedja menegaskan,

“Tahun 2026 diprediksi akan menjadi titik balik di mana teknologi AI tidak hanya digunakan untuk pertahanan, tetapi juga pelaku kejahatan siber,”

Investasi Talenta Digital dan Literasi Masyarakat

Oleh karena itu, Ardi menekankan pentingnya investasi pada talenta digital yang tidak hanya unggul secara teknis, tetapi juga memahami etika dan perlindungan data. Sinergi antara pemerintah, dunia pendidikan, dan industri diperlukan untuk menyiapkan sumber daya manusia yang mampu mengelola risiko teknologi secara bertanggung jawab.

Peningkatan literasi siber masyarakat luas juga menjadi garda terdepan dalam memperkuat ketahanan nasional. Edukasi mengenai perlindungan data pribadi, pengenalan hoaks, dan kesadaran privasi digital harus menjangkau seluruh lapisan masyarakat, termasuk pelaku UMKM dan aparatur daerah.

Ardi Sutedja menyimpulkan,

“Masa depan keamanan dan ketahanan siber Indonesia bergantung pada sinergi antara teknologi, manusia, dan kebijakan berelanjutan,”
Mureks