Industri otomotif Indonesia menghadapi tantangan serius seiring melemahnya daya beli masyarakat terhadap kendaraan baru. Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menunjukkan penurunan penjualan yang signifikan sepanjang Januari hingga November 2025, memicu kekhawatiran akan dampak lebih lanjut terhadap sektor padat karya ini.
Di tengah kondisi pasar yang lesu, pemerintah berencana menghentikan insentif untuk industri otomotif pada tahun 2026. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa anggaran insentif mobil listrik akan dialihkan untuk pengembangan mobil nasional.
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
Penjualan Anjlok, Kapasitas Produksi Tak Optimal
Data Gaikindo mencatat, total wholesales (distribusi dari pabrik ke dealer) periode Januari-November 2025 hanya mencapai 710.084 unit. Angka ini turun 9,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mampu menembus 785.917 unit.
Penjualan retail sales (dari dealer ke konsumen) juga mengalami penurunan. Selama 11 bulan tahun ini, angka penjualan mencapai 739.977 unit, turun 8,4 persen dari 807.586 unit pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Bob Azam, menyoroti kapasitas produksi kendaraan di Indonesia yang mencapai 2,3 juta unit per tahun. Namun, utilisasi kapasitas tersebut saat ini hanya separuhnya.
“Jadi sudah mendekati 50 persen utilisasi, dan ini tentunya angka yang kurang baik ya bagi industri karena kalau break even pointnya 50 persen, ini sudah mendekati break even point. Kalau nanti runningnya di bawah break even point, kita khawatirkan akan terjadi efisiensi tenaga kerja di sektor otomotif,” ujar Bob Azam, dikutip dari CNBC Indonesia.
Ia memproyeksikan produksi kendaraan untuk pasar domestik tahun ini hanya sekitar 800 ribu unit, ditambah ekspor 500 ribu unit, sehingga total produksi hanya 1,3 juta unit dari total kapasitas 2,3 juta unit.
Ancaman PHK dan Kaburnya Investor
Bob Azam menekankan pentingnya dukungan terhadap industri otomotif. “Tentunya ini hal yang tidak kita inginkan. Jadi ke depan ini industri otomotif ini harus didorong ya supaya tumbuh. Karena apa? Karena industri otomotif ini industri yang banyak menyerap tenaga kerja. Kemudian juga berorientasi ekspor dan ekspornya nih ekspor bernilai tambah tinggi karena ada teknologinya di dalamnya. Jadi patut untuk didukung. Bahkan di banyak negara termasuk di Indonesia industri otomotif ini menjadi leading economic indicators. Indikator yang menunjukkan bagaimana ekonomi kita ke depan. Jadi itulah yang menjadi konsern kita untuk tahun depan agar otomotif ini didorong dan didukung ya,” paparnya.
Selain potensi efisiensi tenaga kerja, Bob Azam juga mengkhawatirkan investor akan beralih ke negara tetangga seperti Malaysia jika kondisi pasar di Indonesia tidak membaik dan dukungan pemerintah berkurang.
“Karena investasi ini sangat melihat perkembangan pasar. Jadi kalau pasarnya berkembang, investasi masuk. Tapi kalau pasarnya turun terus investasi akan menjauh,” katanya.
Kekhawatiran ini diperkuat dengan perbandingan data penjualan antara Indonesia dan Malaysia. Asosiasi Otomotif Malaysia (MAA) melaporkan penjualan kendaraan di negaranya mencapai 727.836 unit sepanjang Januari-November 2025, hanya turun tipis 1,15 persen dari 736.317 unit pada periode yang sama tahun sebelumnya.
“Ini yang saya khawatirkan, tahun 2025 ini penjualan domestik otomotif di Indonesia ini mungkin sudah sama dengan Malaysia. Kalau situasi ini berlanjut terus, nanti investasinya akan masuk ke Malaysia, bukan ke Indonesia. Ya, itu yang harus kita perhatikan bersama,” tambah Bob Azam.
Penurunan penjualan retail di Indonesia sebesar 8,4 persen jauh lebih dalam dibandingkan Malaysia yang hanya 1 persen, mengindikasikan tekanan yang lebih besar pada pasar otomotif domestik.





