Sejarah Tugumulyo Musirawas

oleh
oleh
Tugumulyo Musirawas

Tugu, biasanya dibangun di pusat keramaian sebuah komunitas atau di persimpangan jalan sebagai penanda tumbuhnya sebuah peradaban baru. Contoh kekinian yang paling aktual adalah Tugu IKN di hutan Penajam Paser Utara Kaltim.

Dari kejauhan tampak tegap-tegak perkasa, namun tergurat rona kekhawatiran demi menunggu pergantian musim di tahun 2024 kelak.

Secara semantik-antropologis, kata tugu adalah sebuah kosa keramat yang bersifat imajinatif-visioner yang dilekatkan dengan nama tempat agar selalu diingat oleh warga penghuninya sebagai penanda harapan baru yang akan terus diperjuangkan. Sedangkan kata ‘mulyo’ bermakna ‘terpandang’ atau ‘terhormat’.

Jadi, para founding father Toegoemoeljo dahulu, niscaya mengidamkan sebuah tatanan masyarakat baru (yang berasal dari Jawa), yang maju secara ekonomi dan terhormat di mata masyarakat sekitarnya.

Melahirkan generasi ksatria yang cerdas mencerahkan dan senantiasa mendorong kemajuan bersama.

Lebih jauh dari itu, di dalam kepercayaan (agama?) ‘Kapitayan’ yang hidup di Jawa (dan Nusantara) jauh sebelum masuknya agama Hindu-Budha dan Islam, diyakini bahwa bangunan ‘tugu’ adalah tempat suci sebagai penjelmaan dari salah satu sifat utama ‘keghoiban’ Tuhannya yang disebut Sang Hyang Taya (Tunggal).

Untuk meraih sifat utama tersebut, para pemeluknya memerlukan sarana fisikal yang bisa disentuh oleh panca indra.

Kedua sifat utama itu disebut “Tuah” dan “Tulah”. Maka, simbolitas keramat itu diejawantahkan dalam berbagai benda yang mengandung kata “Tu” atau “To”, seperti: Tugu (bangunan suci), Tumbak (senjata sakti), Topeng (perisai muka),Tosan (pusaka) atau Topong (mahkota raja) dan lain-lain [lihat: Atlas Walisongo, Agus Sunyoto, 2012, hal. 14].