Aktris Yasmin Napper membagikan pengalaman mendalamnya saat memerankan karakter Gadis dalam film terbaru, “Musuh dalam Selimut”. Peran ini menuntutnya untuk menyelami kompleksitas emosi seorang perempuan yang dihadapkan pada pengkhianatan, trauma, dan hancurnya kepercayaan. Yasmin mengaku proses pendalaman karakter Gadis terasa sangat personal sejak awal.
Dalam film tersebut, Gadis digambarkan sebagai sosok yang tampak tenang di permukaan, namun menyimpan pergulatan batin yang rumit. Konflik emosional dan kepercayaan menjadi inti cerita yang bergerak perlahan namun penuh tekanan psikologis. Yasmin Napper mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada sutradara Hadrah Daeng Ratu atas bimbingan yang diberikan.
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
“Mungkin pertama-tama aku mau berterima kasih sama Bu Hadrah. Ini kedua kalinya aku bekerja sama sama Bu Hadrah, dan dari awal beliau sudah ngasih tahu ceritanya sampai di set pun selalu menjelaskan segala hal dari hati,” ujar Yasmin pada Acara Press screening dan Converence Film Musuh Dalam Selimut di Kuningan, 29 Desember 2025.
Pendekatan tersebut, menurut Yasmin, membuat emosi karakter lebih mudah tersampaikan dan terasa jujur saat dieksekusi di layar. Selain arahan yang mendalam, kebebasan berimajinasi juga menjadi nilai tambah bagi Yasmin dalam memerankan Gadis.
“Aku suka banget sebuah cerita yang bukan biopik atau biografi, jadi aku bisa berimajinasi dan mengimplementasikan karakternya seperti apa,” tuturnya. Bersama sutradara dan para pemain lain, Yasmin mengeksplorasi arah perkembangan Gadis, memastikan karakter ini tumbuh secara organik dan selaras dengan intensitas cerita “Musuh dalam Selimut”.
Trauma Kehilangan yang Membentuk Gadis
Yasmin Napper menjelaskan bahwa karakter Gadis memiliki lapisan emosi yang tidak sederhana. Ia menggambarkan Gadis sebagai perempuan yang awalnya hangat dan penuh kepercayaan, namun dibayangi trauma mendalam akibat kehilangan orang yang sangat dicintai. Luka masa lalu ini kemudian memengaruhi cara Gadis memandang hubungan dan rasa aman dalam hidupnya.
“Gadis di sini awalnya punya trauma kehilangan sosok yang dia sayang banget, dan itu ngebuat Gadis pada akhirnya saat dia sudah punya suami, saat dia hamil, dia mau menjaga itu dengan sepenuh hatinya karena sudah tidak sanggup kehilangan apa pun lagi,” ungkap Yasmin.
Seiring berkembangnya konflik dalam cerita, perubahan emosi Gadis terasa semakin tajam, terutama ketika rasa aman dalam pernikahannya mulai goyah. Yasmin menjelaskan bahwa respons Gadis terhadap situasi tersebut bukan sekadar kecemburuan, melainkan bentuk penolakan terhadap kenyataan yang menyakitkan.
“Saat ada sebuah hal yang terjadi yang bikin relationship dia nggak secure, dia tuh awalnya denial dulu, nggak terima bahwa ini nyata,” lanjutnya. Menurut Yasmin, ledakan emosi di akhir cerita menjadi puncak perjalanan karakter tersebut, dari sosok yang mudah menerima siapa pun menjadi pribadi yang diliputi trust issues dan kemarahan yang tak lagi terbendung.






