Rabu, 24 Desember 2025, suasana Natal mulai terasa di berbagai penjuru, tak terkecuali di Kota Probolinggo. Di tengah hiruk pikuk persiapan, sebuah bangunan bersejarah berusia 163 tahun, Gereja Immanuel yang akrab disebut Gereja Merah, tetap kokoh berdiri dan bersiap menyambut perayaan Natal.
Gereja peninggalan era kolonial Belanda ini merupakan salah satu cagar sejarah penting di Kota Probolinggo. Berlokasi di Jalan Suroyo Nomor 32, bangunan yang didirikan pada tahun 1862 ini hingga kini masih difungsikan sebagai rumah ibadah. Warna merah terakota yang khas pada seluruh bangunannya menjadi alasan julukan ‘Gereja Merah’ melekat erat.
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
Keunikan Gereja Merah terletak pada sistem konstruksinya yang menggunakan metode knock down atau bongkar pasang, sebuah inovasi langka pada masanya. Sekitar 80 persen material bangunan gereja ini terbuat dari besi baja dan seng, sementara sisanya menggunakan kayu jati pilihan. Dindingnya terbuat dari seng tebal, tiang penyangga dari besi baja, serta rangka atap dari besi yang disambung menggunakan baut, membentuk struktur berukuran 12 x 30 meter.
Meski telah berusia lebih dari satu abad, kondisi Gereja Merah tetap terawat dengan baik. Tidak ditemukan kerusakan serius maupun karat yang berarti pada bagian bangunan. Seluruh kaca jendela, yang dihiasi ukiran simbol-simbol kekristenan seperti salib, trinitas, dan Roh Kudus, masih asli sejak pertama kali dibangun.
Tak hanya bangunannya, sejumlah perlengkapan ibadah di dalam gereja juga masih asli peninggalan Belanda. Mimbar pendeta dan bejana pembaptisan belum pernah dipugar. Bahkan, peralatan sakramen berupa cawan, teko, dan sloki dari bahan kuningan buatan tahun 1868 masih digunakan hingga kini. Gereja Merah juga menyimpan Alkitab berbahasa Belanda kuno dengan sampul berbahan kulit yang dibuat pada tahun 1618 hingga 1619. Meskipun beberapa bagian tampak usang dan robek, kitab tersebut tetap terawat dan menjadi bagian penting dari sejarah gereja.
Pengurus Gereja Merah, Lis Karsten, menjelaskan bahwa pembangunan gereja ini berawal dari kebutuhan tempat ibadah bagi staf perkebunan dan pabrik gula pada masa kolonial Belanda. “Karena waktu itu mereka harus beribadah ke Pasuruan, sementara di Probolinggo belum ada tempat ibadah. Akhirnya mereka meminta kepada residen setempat untuk mendirikan gereja,” kata Lis pada Rabu (23/12/2025).
Material gereja dipesan dari pabrik lokomotif di Jerman dan diangkut menggunakan kapal laut selama sekitar enam bulan hingga tiba di Probolinggo. Untuk mencegah korosi, bangunan dicat dengan warna merah terakota, yang kemudian menjadi ciri khas Gereja Merah. Gereja ini diresmikan pada 20 Juli 1863 dengan nama resmi Immanuel.
Menjelang perayaan Natal 2025, berbagai persiapan mulai dilakukan, seperti menghias pohon Natal dan latihan paduan suara. Salah satu jemaat, Leonar, mengungkapkan kebanggaannya bisa beribadah sekaligus terlibat dalam pelestarian gereja bersejarah tersebut. “Saya bangga bisa beribadah di sini dan ikut melestarikan Gereja Merah. Keunikannya dari warna, sistem bangunan, hingga sejarahnya membuat gereja ini layak dikenal lebih luas,” ujarnya.
Dengan kapasitas sekitar 200 jemaat, Gereja Merah yang telah berusia 163 tahun ini tetap digunakan sebagai tempat ibadah utama. Bangunan ini tidak hanya menjadi pusat spiritual, tetapi juga saksi bisu perjalanan panjang sejarah Kota Probolinggo.






