Joshua Van Bawi Thawng, petarung kelahiran Myanmar, telah mengukir sejarah sebagai pemegang sabuk kelas terbang (flyweight) UFC. Ia menjadi salah satu dari hanya dua juara UFC yang benar-benar berasal dari Asia, sebuah pencapaian langka mengingat dominasi petarung dari Amerika dan Eropa.
Lahir di Myanmar pada 10 Oktober 2001, Joshua Van memiliki perjalanan hidup yang penuh liku. Pada tahun 2011, saat Myanmar dilanda konflik militer dan politik, orang tuanya membawanya pindah ke Malaysia. Dua tahun berselang, Joshua kembali berpindah, kali ini ke Houston, Texas, Amerika Serikat.
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
Sebagai seorang minoritas di AS, Joshua kerap menjadi korban perundungan. Kondisi inilah yang mendorongnya untuk belajar bela diri, sebuah keputusan yang kemudian menancapkan tonggak cintanya pada olahraga Mixed Martial Arts (MMA).
Perjalanan Karier Profesional dan Dominasi di Oktagon
Karier profesional Joshua Van dimulai pada tahun 2021 di Fury Fighting Championship. Dalam kurun waktu dua tahun, ia menorehkan rekor impresif dengan tujuh kemenangan dan hanya sekali kalah. Rekor ini menarik perhatian UFC, membawanya masuk ke ajang pertarungan paling bergengsi di dunia tersebut.
Gaya tarung Joshua yang brutal dan serbabisa, baik dalam standfight maupun groundfight, mengantarkannya pada duel-duel sengit melawan petarung top kelas terbang. Ia berhasil mengalahkan Bruno Silva dengan TKO dan meraih kemenangan mutlak atas Brandon Royval. Puncaknya, Joshua mendapatkan kesempatan bertarung melawan juara bertahan, Alexandre Pantoja.
Dalam pertarungan yang hanya berlangsung 26 detik, Joshua Van berhasil menumbangkan Pantoja dengan TKO setelah lawannya mengalami cedera lengan. Kemenangan ini mengukuhkan Joshua sebagai juara UFC di usia yang relatif muda, 24 tahun. Hingga kini, Joshua Van telah bertarung 18 kali dengan hanya dua kekalahan.
Wawancara Eksklusif: Joshua Van Bicara Kunci Sukses dan Masa Depan
Dalam wawancara eksklusif dengan CNNIndonesia.com, Joshua Van membagikan pandangannya tentang perjalanan kariernya dan tantangan yang dihadapi petarung Asia.
Joshua mengakui bahwa kepindahan ke Amerika Serikat sangat memengaruhi jalannya. “Sebenarnya saya tidak tahu soal MMA sampai saya berusia 16, 17, atau 18. Jadi sepertinya kalau saya tetap tinggal di Myanmar, saya tidak pernah tahu seperti apa itu UFC atau MMA dan hal-hal seperti itu,” ujarnya. “Saya pikir hidup saya bakal sangat berubah [kalau saya tidak pindah ke AS].”
Mengenai kesulitan petarung Asia bersaing di kancah global, Joshua menepis anggapan bahwa asal negara menjadi faktor utama. “Saya tidak tahu, tetapi saya rasa itu tergantung dari si petarungnya itu sendiri. Ini bukan masalah dari mana mereka berasal, yang jadi poin penting adalah seberapa keras Anda berlatih di sasana,” tegasnya.
Ia menambahkan, “Bukan perkara Anda dari Dagestan, Rusia, atau dari mana pun. Seperti saya misalnya, saya siap bertarung melawan orang-orang dari mana pun.”
Meski demikian, Joshua tidak bisa membandingkan ekosistem MMA di Asia dan AS. “Saya belum pernah berlatih di Asia jadi saya tidak tahu, tetapi saya berlatih dengan baik di sini. Jadi saya tidak bisa bilang mana yang lebih baik,” jelasnya.
Joshua percaya bahwa lokasi latihan tidak menentukan kualitas seorang petarung. “Saya pikir enggak masalah di mana pun Anda berlatih, itu tergantung pada diri Anda. Berusahalah yang terbaik, dekatkan diri Anda pada orang-orang yang tahu apa keinginan Anda. Paham maksud saya? Jadi bukan masalah di mana Anda berlatih. Mau latihan di AS atau Rusia, atau di mana pun,” katanya.
Ia mencontohkan Team Lakay dari Filipina dan Manny Pacquiao. “Ada petarung-petarung Filipina, kalau tidak salah mereka dari Malakay? Malakay Team [Team Lakay]? Itu bagus juga. Anda tahu orang-orang Filipina. Merke berlatih dan mereka tampil di One Championship. Lihat Manny Pacquiao. Dia berlatih di Filipina dan dia jadi juara dunia. Jadi itu maksud saya. Mau di mana pun Anda berlatih tidak masalah sebenarnya.”
Gelar Juara di Usia Muda dan Pertarungan Kontra Pantoja
Meraih gelar juara UFC di usia 24 tahun, Joshua Van merasa ini adalah waktu yang tepat. “Ini waktu yang tepat. Anda tahu Tuhan adalah sutradara terbaik. Semua terjadi karena ada alasan di baliknya. Dan saya rasa Tuhan memberi saya gelar ini, juara ini atas alasan tertentu. Dan saya hanya menjalankan sebaik mungkin. Jadi saya akan menjaga sabuk ini,” ungkapnya.
Mengenai kemenangannya yang cepat atas Alexandre Pantoja, Joshua menjelaskan, “Yang terjadi sebenarnya adalah, Anda tahu di adalah pemegang sabuk hitam [Brazilian Jiu Jitsu]. Sebagai seorang pemilik sabuk hitam seharusnya dia tahu bagaimana cara dia jatuh. Iya kan? Dan saya membuat dia terjatuh. Dia seharusnya tahu cara jatuh yang benar.”
Ia juga membuka kemungkinan rematch. “Dan seperti saya bilang, semua terjadi karena ada alasan. Jika orang-orang mau melihat rematch, boleh kita bertarung lagi. Dan saya pikir hasilnya bakal tetap sama. Saya akan tetap jadi pemenang. Dan ya memang begitu adanya.”
Joshua Van dikenal sebagai petarung yang sangat aktif, bertarung empat kali selama tahun 2025. Ia tidak keberatan jika harus menunggu Pantoja pulih atau menghadapi penantang lain. “Iya itu betul, terlalu lama menunggu dia sembuh bisa jadi satu tahun. Jadi saya siap saja dengan keputusan UFC, mau mempertemukan saya dengan siapa. Kalau UFC bilang saya harus melawan seseorang besok, saya bakal bertarung. Kapan pun mereka memanggil, saya siap,” tegasnya.
Ia juga menyatakan kesiapannya menghadapi siapa pun di kelas terbang. “Saya siap lawan siapa pun. Dan saya akan membuat pertarungannya menjadi menarik. Jadi siapa saja saya siap.”
Rencana ke Myanmar dan Nasihat untuk Petarung Asia
Joshua Van memiliki rencana untuk membawa sabuk juaranya ke tanah kelahirannya. “Ya, tentu. Ketika saya bisa balik ke Myanmar, itu adalah hal pertama yang akan saya lakukan,” katanya, seraya menambahkan bahwa ia masih berkomunikasi dengan beberapa saudaranya di sana.
Untuk petarung Asia yang bercita-cita masuk UFC, Joshua memberikan nasihat penting. “Jadi saran saya yang akan saya berikan kepada orang-orang yang ingin menjadi petarung UFC adalah berlatih dan berlatih. Karena kami bertarung seperti kami berlatih. Saat Anda berlatih, Anda harus berlatih seperti sedang bertarung,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya lingkungan yang mendukung. “Dan saya pikir Anda harus punya orang-orang yang tepat di sekeliling Anda. Ya Anda tahu lah kadang-kadang ada orang yang mau berlatih dan selanjutnya mengajak ke party. Anda butuh istirahat dan kemudian intensitas latihan jadi turun. Saya masih muda jadi ada saja hal-hal seperti itu.”
“Jadi itu kenapa kita butuh orang-orang tepat di sekeliling kita. Dekatkan diri Anda pada orang-orang yang bisa membuat Anda lepas landas,” pungkasnya.
Menjelang akhir tahun, Joshua berencana merayakan Natal bersama keluarga, pergi ke gereja, dan berdoa. Ia juga menegaskan keyakinannya pada diri sendiri. “Ya, saya selalu tahu saya adalah petarung terbaik di dunia. Dengan atau tanpa sabuk ini saya adalah petarung terbaik.”
Mengenai aktivitasnya yang tinggi, Joshua menjelaskan, “Ya seperti saya bilang, saya berada di sasana dan berlatih. Kalau sudah ada di sasana ya kenapa kita enggak bertarung? Selalu ada keinginan untuk bertarung. Mumpung saya masih muda saya mau tetap aktif dan terus berbenah untuk menjadi lebih baik.”
Dengan julukan ‘The Fearless’, Joshua Van tidak berniat bermain aman setelah meraih gelar. “Ya itu nama saya, saya fearless [tidak takut]. Jadi setiap pertarungan akan saya hadapi dengan cara yang sama. Saya bertarung seperti seorang penantang. Jadi ayo-ayo aja. Kalau ada yang berani coba saja ambil sabuk ini dari saya,” tantangnya.






