Pengamat Telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ian Joseph Matheus Edward, menyoroti sejumlah tantangan krusial yang membayangi industri telekomunikasi nasional menjelang tahun 2026. Tantangan tersebut meliputi ketersediaan spektrum frekuensi untuk mobile broadband, harga layanan fixed broadband yang belum terjangkau, hingga optimalisasi penggunaan satelit.
Ketersediaan Spektrum Mendesak untuk Mobile Broadband
Pada segmen mobile broadband (MBB), Ian Joseph Edward menilai isu paling mendesak adalah ketersediaan spektrum frekuensi baru. Menurutnya, kebutuhan frekuensi bagi operator seluler sudah mencapai tingkat kritis untuk peningkatan kualitas layanan.
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
“Beberapa frekuensi juga sudah ‘nganggur’ sebenarnya, 700, 2600, 26 GHz sudah siap. PR besar masih di 3500, khususnya mengenai mekanisme clearance,” kata Ian saat dihubungi Bisnis pada Selasa (30/12/2025).
Ian menegaskan, pita frekuensi 3.500 megahertz (MHz) memiliki peran strategis dalam peta persaingan industri dan peningkatan kualitas layanan MBB. Hal ini krusial untuk mencapai target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), termasuk kecepatan layanan hingga 100 megabit per second (Mbps).
Meskipun melihat peluang besar dengan rencana pemerintah merilis spektrum baru, Ian menekankan pentingnya kesiapan kebijakan. Pemerintah harus memastikan desain lelang yang sehat dan berkelanjutan bagi industri.
“Dari sisi pemerintah harus mempersiapkan reserve price yang memungkinkan price recovery terjadi. Desain lelang juga harus mempertimbangkan kesehatan dan sustainable industri,” ungkapnya.
Tantangan Harga dan Fiberisasi di Fixed Broadband
Di sektor fixed broadband (FBB), tantangan utama masih berkutat pada keterjangkauan harga layanan. Ian menilai harga layanan FBB saat ini relatif tinggi, sehingga belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Selain itu, masyarakat kerap memilih paket dengan kualitas kurang optimal, seperti kecepatan rendah dan tingkat latensi yang tidak terjaga. Meskipun teknologi Fixed Wireless Access (FWA) dapat menekan biaya penyediaan, Ian mengakui bahwa kualitas layanan FBB jangka panjang sangat bergantung pada pembangunan jaringan serat optik atau fiberisasi.
Fiberisasi membutuhkan belanja modal (capital expenditure/capex) yang besar untuk memperluas jangkauan layanan. Namun, manfaatnya tidak hanya terbatas pada FBB, melainkan juga menjadi fondasi bagi layanan digital lain seperti mobile broadband, pusat data (data center), hingga kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
Optimalisasi Satelit untuk Cakupan Nasional
Layanan satelit juga menghadapi tantangan tersendiri, terutama dalam mendukung target cakupan layanan nasional secara efisien dari sisi biaya.
“Di satelit tantangan ada pada bagaimana mengoptimalkan penggunaan satelit untuk meningkatkan target coverage RPJMN secara cost effective,” kata Ian.
Tantangan lain adalah koordinasi penggunaan satelit agar tidak tumpang tindih dengan jaringan terestrial. Wilayah yang sudah tercakup jaringan terestrial dinilai tidak perlu lagi menjadi target layanan satelit. Sebaliknya, satelit dapat difokuskan untuk melayani daerah yang benar-benar sulit dijangkau.
Ian menambahkan, pemanfaatan satelit di wilayah komersial sebaiknya lebih diarahkan sebagai penopang ketahanan digital nasional. “Terutama sebagai backup ketika terjadi bencana seperti Sumatera kemarin,” pungkas Ian.





