Kegagalan Tim Badminton Indonesia di Olimpiade Paris 2024 masih menyisakan dampak signifikan sepanjang tahun 2025. Meskipun demikian, para pebulutangkis nasional mulai menunjukkan sinyal kebangkitan dan upaya untuk berdiri di atas reruntuhan kekecewaan tersebut.
Olimpiade Paris 2024 seharusnya menjadi puncak prestasi bagi sejumlah pemain andalan Indonesia, seperti Jonatan Christie, Anthony Ginting, Gregoria Mariska Tunjung, Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto, serta Apriyani Rahayu/Siti Fadia Silva. Namun, tim bulutangkis Indonesia gagal melanjutkan tradisi emas, dengan hanya Gregoria Mariska Tunjung yang berhasil membawa pulang medali perunggu. Catatan ini menjadi kegagalan besar bagi PBSI dan seluruh tim.
Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.
Setelah Olimpiade berakhir, kepengurusan PBSI resmi berganti dengan Muhammad Fadil Imran menjabat sebagai Ketua Umum. Berbagai program dicanangkan, tetapi transisi prestasi tidak langsung berjalan mulus. Pada semester awal 2025, performa bulutangkis Indonesia benar-benar terpuruk. Tidak ada satu pun pemain Indonesia yang mampu merebut gelar Super 1000 dari tiga turnamen bergengsi: Malaysia Open, All England, dan Indonesia Open. Bahkan, gelar di turnamen Super 300 ke atas pun sangat minim.
Titik jenuh dan kekecewaan para pemain andalan pasca-kegagalan di Olimpiade Paris 2024, ditambah kegagalan dalam mendorong regenerasi yang siap melapis pemain utama, menjadi kombinasi maut yang membuat Indonesia terpuruk di awal 2025. Kondisi ini menegaskan bahwa pembinaan tidak dapat dilakukan secara instan, dan kepengurusan baru PBSI tidak dapat langsung menciptakan pemain bintang tanpa fondasi yang kuat dari era sebelumnya.
Menjelang akhir 2025, Indonesia berhasil mengoleksi total 10 gelar di turnamen Super 300 ke atas, dengan rincian empat gelar Super 300, empat gelar Super 500, dan empat gelar Super 1000. Meski menunjukkan perbaikan di semester kedua, catatan ini belum tergolong memuaskan, terutama karena Indonesia kembali hampa gelar di Kejuaraan Dunia dan BWF World Tour Finals.
Grafik peningkatan prestasi mulai terlihat di semester kedua 2025, salah satunya berkat racikan pasangan baru Fajar Alfian/Muhammad Shohibul Fikri. Pasangan ini langsung menunjukkan kualitas dan bersaing di papan atas, meraih satu gelar di China Open Super 1000 dan mencapai lima final. Pergerakan impresif Fajar/Fikri juga terlihat dari ranking BWF mereka, yang dalam waktu kurang dari enam bulan berhasil menduduki posisi keenam dunia.
Selain Fajar/Fikri, Jonatan Christie yang memilih jalur karier independen juga menunjukkan kebangkitan di semester kedua, berhasil menjuarai Korea Open, Denmark Open, dan Hylo Open. Di kategori regenerasi, sejumlah nama mulai mencuri perhatian, seperti Alwi Farhan, Moh Zaki Ubaidillah, Raymond Indra/Nikolaus Joaquin, dan Jafar Hidayatullah/Felisha Pasaribu. Perubahan pasangan di nomor ganda putri juga mulai menunjukkan taringnya di pengujung 2025. Namun, aksi para pemain muda ini masih sebatas menjadi kuda hitam, belum mampu merusak tatanan kekuatan yang ada saat ini.
Di tengah rentetan kegagalan dan kekecewaan, ada pula kemenangan penting yang patut dirayakan. Keberhasilan Indonesia merebut tiga medali emas di SEA Games 2025 menjadi salah satu sorotan positif. Keputusan PBSI memasukkan nama Sabar Karyaman/M. Reza Pahlevi menjadi kunci penting di balik keberhasilan memenuhi target medali. Pasangan independen ini berkontribusi besar pada emas beregu putra sekaligus mempersembahkan emas di nomor ganda putra.
Keberhasilan Tim Badminton Indonesia melampaui target di SEA Games jelas patut diapresiasi, mengingat target awal hanya dua keping emas, bahkan sempat disebut hanya satu emas. Namun, menjadikan keberhasilan di SEA Games sebagai sorotan utama juga mengindikasikan bayang-bayang kegagalan besar di turnamen-turnamen lainnya. Hal inilah yang tidak boleh terulang dan menjadi kebiasaan di masa mendatang.






