Lifestyle

Ultramaraton 100 Mil Berisiko Kanker Usus Besar, Onkolog Ungkap Temuan Mengejutkan

Advertisement

Lari jarak jauh hingga ultramaraton kerap diasosiasikan dengan gaya hidup sehat. Namun, temuan klinis seorang onkolog justru mengungkap adanya potensi risiko tak terduga terkait kanker usus besar pada para pelari ekstrem.

Pengalaman dr. Timothy Cannon, seorang onkolog, memicu perhatian khusus pada isu ini setelah menangani pasien penderita kanker usus besar. Keunikan kasus ini terletak pada latar belakang para pasien yang justru aktif secara fisik. “Pasien-pasien ini bukan orang yang kurang bergerak. Dua di antaranya rutin mengikuti ultramaraton 100 mil, dan satu lainnya menyelesaikan 13 half marathon dalam satu tahun,” ujarnya, mengutip dari Best Life.

Sebagai gambaran, jarak 100 mil setara dengan sekitar 160 kilometer. Sementara itu, half marathon adalah setengah dari jarak maraton standar 42,2 kilometer, yaitu sekitar 21 kilometer.

Fokus Penelitian pada Pelari Jarak Jauh

Dr. Cannon dan timnya kemudian melakukan studi yang difokuskan secara spesifik pada pelari jarak jauh. Penelitian ini melibatkan 100 peserta berusia 35 hingga 50 tahun yang memiliki rekam jejak rutin mengikuti lomba lari jarak jauh. Prioritas penelitian adalah olahraga ketahanan ekstrem, bukan aktivitas fisik harian dengan intensitas ringan hingga sedang.

“Kami ingin melihat dampak pada individu yang secara konsisten berlari sejauh 42 kilometer atau lebih, dalam jangka panjang,” jelas Cannon. Para peserta dipilih berdasarkan kriteria ketat: telah menyelesaikan minimal dua ultramaraton dengan jarak 50 kilometer atau lebih, atau lima maraton resmi sejauh 42,2 kilometer. Mereka juga dipastikan tidak memiliki riwayat kanker usus besar pribadi maupun keluarga, serta tidak memiliki faktor risiko lain yang diketahui.

Polip Prakanker Ditemukan Lebih Banyak

Seluruh peserta menjalani pemeriksaan kolonoskopi untuk menelaah kondisi usus besar mereka. Hasil pemeriksaan ini kemudian ditelaah oleh panel dokter ahli yang terdiri dari gastroenterolog, ahli patologi, dan onkolog.

Temuan mengejutkan muncul ketika studi ini mengungkap angka polip yang relatif tinggi pada kelompok pelari jarak jauh. Polip adalah pertumbuhan jaringan kecil di dinding usus besar yang berpotensi berkembang menjadi kanker jika tidak terdeteksi sejak dini.

Advertisement

“Kami menemukan 39 persen peserta memiliki setidaknya satu polip di usus besar, dan 15 persen di antaranya sudah tergolong adenoma (tumor jinak) tingkat lanjut yang bersifat prakanker,” ungkap Cannon. Angka ini secara signifikan lebih tinggi dibandingkan prevalensi adenoma tingkat lanjut pada populasi umum di Amerika Serikat untuk usia yang sama, yang umumnya berkisar antara 4,5 hingga 6 persen.

Mekanisme Biologis dan Keterlambatan Diagnosis

Meskipun belum dapat membuktikan hubungan sebab akibat secara langsung, Dr. Cannon mengemukakan adanya mekanisme biologis yang patut dicermati. “Selama lari sejauh 80 kilometer atau lebih, tubuh mengalihkan sebagian besar aliran darah dari saluran cerna ke otot-otot kaki,” terangnya.

Kondisi ini bisa berlangsung selama enam hingga tujuh jam atau bahkan lebih, terutama dalam ajang ultramaraton. “Berkurangnya aliran darah ke usus berpotensi menyebabkan iskemia dan memicu kerusakan sel,” kata Cannon. Iskemia sendiri merujuk pada kondisi berkurangnya aliran darah ke suatu organ dalam periode waktu tertentu.

Selain faktor biologis, keterlambatan diagnosis juga disebut berperan. Cannon menyoroti kecenderungan pelari jarak jauh untuk mengabaikan gejala gangguan pencernaan. “Diare atau buang air besar berdarah kerap dianggap sebagai dampak normal dari lari jarak jauh,” ujarnya.

Gejala yang dikenal sebagai runner’s trots ini dapat menyebabkan tanda-tanda awal kanker usus besar terlewatkan. Cannon menegaskan bahwa temuannya tidak bertujuan untuk menganjurkan penghindaran lari maraton atau ultramaraton. Penelitian ini menekankan pentingnya kewaspadaan terhadap gejala dan perlunya studi lanjutan.

Advertisement