Lifestyle

Tobatenun Beri Ruang Perempuan sebagai Artisan di Balik Ulos Batak

Advertisement

Di balik sehelai ulos Batak yang kaya makna, tersembunyi ketelitian, kesabaran, dan pengetahuan lintas generasi yang diwariskan oleh tangan-tangan perempuan. Tantangan terbesar saat ini bukan hanya menjaga kelestarian teknik menenun, melainkan memastikan para penenun memiliki ruang yang berkelanjutan untuk terus berkarya.

CEO Tobatenun, Kerri Na Basaria Pandjaitan, mengungkapkan rentang usia penenun yang terlibat dalam proses pembuatan ulos sangatlah lebar, mulai dari 18 hingga 78 tahun. Banyak dari mereka telah menguasai keterampilan menenun sejak usia sekolah dasar atau menengah, belajar langsung dari ibu atau nenek mereka. Namun, pertanyaan krusial yang dihadapi adalah kesediaan dan kemampuan mereka untuk bertahan sebagai penenun di masa depan.

“Range umur pengrajin kita cukup lebar, dari 18 sampai 78 tahun. Mereka belajar dari opung atau ibunya sejak masih SMP atau SD. Tapi masalahnya itu, mau tetap jadi penenun atau enggak,” kata Kerri saat ditemui dalam acara MAULIATE di Sopo Del Tower, Jakarta Selatan, Kamis (4/12/2025).

Tantangan Ekonomi di Balik Tradisi Menenun

Keputusan seorang penenun untuk terus menekuni profesinya sering kali dipengaruhi oleh pertimbangan ekonomi. Kerri menuturkan, tidak sedikit penenun yang akhirnya beralih profesi karena merasa hasil menenun belum mampu memberikan peluang ekonomi yang cukup berkelanjutan bagi kehidupan mereka.

“Karena secara opportunity, secara ekonomi, memang enggak selalu sustainable. Jadi akhirnya tergantung masing-masing,” ujarnya.

Situasi ini menjadi perhatian serius, mengingat menenun lebih dari sekadar keterampilan teknis. Ia merupakan bagian integral dari identitas dan ingatan kolektif masyarakat Batak. Kerri menceritakan, sebelum mendirikan Tobatenun, ia banyak berdiskusi dengan tokoh adat dan budayawan di Sumatra Utara yang menggambarkan kondisi penenun dan kain tenun yang sama-sama memprihatinkan.

“Saya banyak ngobrol dengan tokoh-tokoh dan budayawan yang memang sudah lama di ranah tenun di Sumatra Utara. Mereka menceritakan bahwa situasinya cukup memprihatinkan, dari penenunnya sendiri, ataupun kainnya,” cerita Kerri.

Advertisement

Pendampingan agar Penenun Punya Ruang sebagai Artisan

Upaya untuk mengubah cara pandang terhadap peran penenun inilah yang coba diwujudkan Kerri bersama Tobatenun melalui program pendampingan di berbagai wilayah Sumatra Utara. Pendampingan ini dirancang agar para penenun tidak lagi dipandang semata sebagai tenaga kerja produksi, melainkan sebagai artisan yang memiliki identitas dan nilai seni yang tinggi.

“Yang mau kita lakukan di sini, at least di Sumatra Utara, pendampingan kita tuh kita penginnya mereka punya ruang jadi artisan,” kata Kerri.

Menurutnya, penyebutan “buruh tenun” sering kali mereduksi makna mendalam dari proses menenun. Padahal, setiap penenun memiliki pengetahuan, keahlian, dan ekspresi artistik yang khas. Saat ini, lebih dari 300 pengrajin tenun terlibat dalam jaringan Tobatenun, tersebar di berbagai daerah di Sumatra Utara, meliputi Medan, Tapanuli Utara, Simalungun, Dairi, Pematang Siantar, Samosir, Toba, Labuhanbatu Utara, hingga Humbang Hasundutan.

Menenun sebagai Seni Perempuan

Kerri juga menekankan bahwa menenun secara historis sangat lekat dengan peran perempuan. Di banyak komunitas Batak, keterampilan ini diwariskan dari ibu ke anak perempuan, menjadikannya bagian dari kehidupan sehari-hari sekaligus ruang ekspresi diri.

“Kita juga recognize kalau penenun itu rata-rata memang perempuan. We always say ‘weaving is a woman’s art’,” ungkapnya.

Bagi Kerri, pengakuan terhadap penenun sebagai artisan sekaligus seniman perempuan merupakan langkah krusial. Hal ini penting agar praktik menenun tidak hanya bertahan sebagai tradisi, tetapi juga dihargai sebagai bentuk karya budaya yang hidup. Dengan membuka ruang, memberikan pendampingan, dan mengubah cara pandang, ia berharap praktik menenun akan tetap relevan dan dapat terus dijalani oleh generasi penerus.

Advertisement