SEJARAH DESA Q. BUMINOTO MUSI RAWAS (1)

oleh
oleh

Kolonisasi pertama di Tugumulyo Kab. Musi Rawas dari 1937 hingga Oktober 1940 berhasil membentuk 15 desa dengan total penghuni 2.486 KK. Ke-15 desa tersebut adalah: A. Widodo, B. Srikaton, C. Nawangsasi, D. Tegalrejo, E. Wonokerto, F. Trikoyo, G. Mataram , H. Wukirsari, I. Sukomulyo, J. Ngadirejo, K. Kalibening, L. Sidoharjo, M. Sitiharjo, dan O. Mangunharjo.

[“In October 1940 this project had 15 desas, according to an oral statement by the Controleur at Loeboeklinggau. Six hundred and fourteen families had arrival in 1937, 859 in 1938, 423 in 1939, and 590 in 1940”. KJ Pelzer: 1945, page 222].

Seluruh area kolonisasi Tugumulyo di kala itu adalah merupakan bagian wilayah Marga Proatin Lima, Onderdistrict Muarabeliti. Sejarah bari mencatat bahwa sebelum pembentukan Marga Sindang Kelingi Ilir (1929), wilayah Marga Proatin Lima meliputi lima “dusun tuo” yakni: Muarabeliti, Pedang, Tanahperiuk, Tabapingin dan Kayuara.

Pada tahun 1942, proyek Bendung Watervang selesai dibangun dengan panjang jaringan irigasi lk 10 km hingga ke Desa F. Trikoyo, dan menghabiskan dana 765 guilder (lk Rp. 5,5 milyar). Debet airnya berpotensi untuk mengairi 35 ribu hektar sawah, tetapi baru dioperasikan (1940) seluas 6.575 ha dengan rincian: 3.840 ha untuk transmigran Tugumulyo dan 2.735 ha untuk pribumi Marga Proatin V.

Karena kecamuk Perang Dunia II hingga era pendudukan Militer Jepang (1942-1945), kesibukan proklamasi kemerdekaan RI, kekacauan Clash Action I dan II (1947-1949), maka program transmigrasi di Musi Rawas terhenti sama sekali. Padahal pemetaan detail tata ruang Kolonisasi Tugumulyo telah disusun lengkap oleh Kolonial Belanda.

Baru pada tanggal 12 Desember 1950, pemerintah RI melanjutkan kembali pengiriman transmigran dari Jawa ke Lampung 23 KK dan ke Musi Rawas 2 KK dengan total 98 jiwa. Oleh karena itu tanggal 12 Desember dijadikan sebagai Hari Bhakti Transmigrasi.

Pada tahun 1953-1954, didatangkan transmigran dari Jateng dan Jatim yang ditempatkan di Desa P. Mardiharjo dan Q. Buminoto. Dan di tahun-tahun selanjutnya menyusul ditempatkan di R. Rejosari, S. Kertosari dan T. Bangunsari.

Menurut Rispan bin Kasni (72 th) mantan Kades Q1 Tambahasri dua periode (1986-1995), Desa Q. Biminoto mula-mula dihuni oleh 45 KK dipimpin oleh Kades Joyokaryo selama 12 tahun dengan Carik yang mendampinginya adalah Sdr. Budi. Ketika pada tahun 1965 ada penambahan KK transmigran, maka Desa Q. Buminoto dimekarkan menjadi dua desa yaitu Desa Q1. Tambahasri dan Q2. Wonorejo (wawancara pada 2 September 2020 di rumahnya).

Adapun urutan penjabat Kades Q. Buminoto/ Q1. Tambahasri hingga tahun 2021 ini adalah:
1. Joyokaryo, Q. Buminoto (1953/54 ~ 1965);
2. Muksin, Q1. Tambahasri (1965-1985);
3. Warsito, Pjs (1985);
4. Mispan (1986~1995);
5. Muhammad Ali (1995 ~ 2001);
6. Subagyo (2001 ~ 2006);
7. Arifin (2006 ~ 2021).

Sosok Mantan Kades Rispan bin Kasni adalah orang yang tegas dan pemberani. Beliau lahir di Blitar tahun 1949 dan menikah pada tahun 1975 dengan orang sekampungnya Suminarsih. Pada usia 14 tahun (1963), Rispan ikut orangtua bertransmigrasi ke Q. Buminoto, dan bersekolah SR di L. Sidoharjo. Kini dikaruniai 3 orang anak dan cucu 6 orang.

Kisah derita dan perjuangan masa kanak-kanak pemuda Rispan, sungguh sangat berat dan strugle. Bersama orangtuanya, jika hendak menjual hasil bumi ke Lubuklinggau, maka harus bersepeda dari Q hingga F, lalu menyusuri di atas tanggul irigasi menuju Tabapingin via perkebunan karet (kini Desa Siringagung), lalu turun menyeberangi Sungai Kelingi dan naik ke tebing sungai di depan eks Pemda Tabapingin. Barulah bisa bersepeda agak lancar hingga ke Lubuklinggau. Padasaat itu tidak ada jembatan di Sungai Kelingi, dan jembatan Simpangperiuk belum dibangun, maka mobil angkut hasil bumi (pick up Chevrolet) hanya bisa lewat jika air sungai relatif surut.
(Bersambung…..)