Masyarakat yang terdampak bencana ekologis di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat memerlukan dukungan sosial yang komprehensif. Dukungan ini mencakup bantuan emosional hingga pemulihan komunitas, demikian dinilai oleh Psikolog Klinis RSUD Wangaya Kota Denpasar, Bali, Nena Mawar Sari.
Dukungan emosional menjadi prioritas utama. Layanan psikologis yang menyediakan ruang aman bagi korban untuk bercerita dan merasa didengar sangat krusial. Hal ini bertujuan membantu memulihkan trauma yang mungkin muncul akibat peristiwa pahit tersebut.
“Yang paling dibutuhkan adalah dukungan emosional, berupa layanan psikologis yang memberikan ruang aman bagi korban untuk bercerita, merasa didengar, serta membantu memulihkan trauma yang mungkin muncul,” ujar Nena, mengutip Antara.
Lebih lanjut, Nena menjelaskan bahwa dukungan sosial tidak hanya berhenti pada aspek emosional. Bantuan praktis seperti penyediaan bahan makanan, pakaian, obat-obatan, serta logistik tetap menjadi kebutuhan mendesak bagi para korban.
Informasi mengenai posko bantuan, akses layanan kesehatan, dan kontak darurat juga sangat penting. Hal ini bertujuan untuk memastikan korban tidak kehilangan arah di tengah situasi krisis yang kompleks.
“Ke depan, dukungan komunitas juga sangat dibutuhkan. Misalnya memasak bersama, membersihkan lingkungan, atau kegiatan kolektif lainnya yang bisa mengembalikan rasa memiliki dan kebersamaan. Korban perlu merasa bahwa mereka tidak menghadapi semuanya sendirian,” kata dia.
Gejala Pascatrauma yang Perlu Diwaspadai
Gejala pascatrauma pascabencana dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk. Beberapa di antaranya adalah kilas balik kejadian, mimpi buruk, penurunan konsentrasi, atau upaya menghindari percakapan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan bencana.
Secara fisik, korban mungkin mengalami gemetar, pusing hingga hampir pingsan. Gangguan yang menghambat aktivitas harian seperti fobia dan depresi juga bisa muncul.
Dalam kasus yang lebih berat, trauma dapat memicu perubahan perilaku signifikan. Korban bisa mengalami gangguan tidur berhari-hari, perubahan pola makan, menangis berlebihan, hingga halusinasi, terutama jika kehilangan anggota keluarga.
Nena menegaskan bahwa gejala-gejala tersebut memerlukan penanganan segera oleh tenaga profesional untuk mencegah dampak jangka panjang.
Intervensi Awal untuk Pemulihan
Untuk intervensi awal, para psikolog umumnya menggunakan teknik sederhana guna meredakan gejala gangguan mental. Pendekatan kelompok melalui support group therapy terbukti efektif membuat penyintas merasa didukung, tidak terisolasi, dan mampu berbagi pengalaman dengan sesama korban.
“Pertemuan kelompok membantu korban memahami bahwa mereka tidak sendirian. Mereka bisa saling menguatkan,” ujarnya.
Penanganan trauma pada anak-anak memerlukan pendekatan yang disesuaikan dengan tahap perkembangan mereka. Melalui aktivitas seperti bermain, bernyanyi, atau terapi perilaku kognitif, anak-anak dapat dibantu mengurai ketakutan yang mereka rasakan.
“Melalui permainan atau nyanyian, anak bisa mengekspresikan dirinya dengan cara yang lebih alami. Jika diperlukan, psikolog atau konselor terlatih akan menggunakan terapi perilaku kognitif untuk menangani inti traumanya,” kata Nena.
Ia kembali menekankan bahwa setiap perubahan perilaku ekstrem pada korban, baik dewasa maupun anak, wajib mendapat perhatian profesional agar proses pemulihan dapat berlangsung secara optimal.






