Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung membuka kemungkinan untuk menyampaikan permintaan maaf kepada Korea Utara. Wacana ini muncul di tengah tudingan bahwa pemerintahan sebelumnya secara sengaja memicu ketegangan militer dengan Pyongyang. Presiden Lee, yang terpilih dalam pemilu darurat pasca-pencopotan pendahulunya, Yoon Suk Yeol, menegaskan komitmennya untuk memperbaiki hubungan antar-Korea yang telah lama tegang.
Pada November lalu, jaksa khusus mendakwa Yoon bersama dua pejabat pertahanan atas tuduhan memerintahkan penerbangan drone ke wilayah udara Korea Utara, tindakan yang diduga bertujuan memprovokasi konflik militer. Laporan media Korea Selatan juga menyebutkan pemerintahan Yoon menerbangkan balon propaganda berisi selebaran ke Korea Utara. Meskipun tuduhan tersebut belum terbukti di pengadilan, Presiden Lee menyatakan keprihatinan serius.
“Saya rasa kita memang perlu menyampaikan permintaan maaf. Namun, saya belum bisa mengatakannya secara terbuka karena khawatir akan dicap sebagai pro-Korea Utara atau memicu konflik ideologis di dalam negeri,” kata Lee dalam pernyataannya.
Kritik Oposisi dan Respons Korea Utara
Pernyataan Presiden Lee menuai kritik dari Partai Kekuatan Rakyat (PPP), oposisi utama di parlemen. Mereka menilai komentar tersebut berpotensi memecah belah masyarakat dan merusak citra militer.
Sementara itu, Korea Utara menuding pemerintahan Yoon bertanggung jawab atas tiga insiden penyebaran selebaran propaganda melalui drone di Pyongyang pada Oktober 2024. Namun, militer Korea Selatan enggan mengonfirmasi klaim tersebut.
Sejak menjabat pada Juni 2025, Lee telah mengambil sejumlah langkah untuk meredakan ketegangan dengan Korea Utara, termasuk mematikan pengeras suara perbatasan yang biasa digunakan untuk menyiarkan musik K-pop dan berita internasional, serta melarang aktivis menerbangkan balon propaganda. Meski begitu, upaya damai Lee belum mendapat respons positif dari Pyongyang. Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un menyatakan tidak tertarik membuka dialog dengan Seoul.
Wacana Tunda Latihan Militer dengan AS
Dalam upaya membangun kepercayaan, Lee membuka kemungkinan menangguhkan latihan militer rutin antara Korea Selatan dan Amerika Serikat. Latihan ini selama ini dianggap Korea Utara sebagai bentuk simulasi invasi.
“Kita harus menunjukkan niat baik jika ingin membuka kembali jalur dialog,” ujarnya, sebagaimana diberitakan The Independent pada Kamis (4/12/2025).
Namun, Presiden Lee memicu kontroversi saat ditanya mengenai upaya pemulangan warga Korea Selatan yang ditahan di Korea Utara. Ia mengaku tidak mengetahui keberadaan para tahanan tersebut dan sempat bertanya kepada penasihat keamanan nasionalnya, “Benarkah ada warga negara kita yang ditahan?”
Lee kemudian menjelaskan bahwa informasi terkait kasus tersebut sudah lama terjadi dan dirinya belum memperoleh detail yang cukup. Diketahui, setidaknya enam warga Korea Selatan masih ditahan di Korea Utara. Tiga di antaranya adalah misionaris Kristen yang ditangkap pada 2013–2014 karena tuduhan melakukan misi rahasia penyebaran agama dan spionase, serta dijatuhi hukuman kerja paksa seumur hidup.
Tiga lainnya adalah pembelot asal Korea Utara yang telah menetap di Korea Selatan. Informasi mengenai mereka sangat terbatas.
Kekecewaan Keluarga Tahanan dan Kecaman Aktivis HAM
Kim Jeong-sam, saudara dari salah satu misionaris yang ditahan bernama Kim Jung Wook, menyatakan kekecewaannya atas pernyataan Presiden Lee. “Hati saya sakit. Saya merasa Presiden tidak peduli pada para tahanan. Sampai hari ini, saya masih berdoa tiga kali sehari agar saudara saya kembali dengan selamat,” ujarnya.
Hal serupa disampaikan Choi Jin-young, putra dari misionaris Choi Chun-kil yang juga masih ditahan. Ia mengaku bingung dan kecewa mendengar pernyataan Presiden. “Saya sedih membayangkan kondisi ayah saya yang kemungkinan hidup dalam penjara dengan keadaan sangat buruk,” ucapnya.
Analis hukum dari organisasi Transitional Justice Working Group di Seoul, Ethan Hee-Seok Shin, menilai pernyataan Presiden Lee tidak dapat diterima. “Sebagai kepala negara, seharusnya beliau mengetahui masalah ini dan memiliki strategi untuk menyelesaikannya, meskipun tidak mudah,” katanya.
Kementerian Unifikasi Korea Selatan menyatakan bahwa pemerintah terus berupaya memulangkan warganya yang ditahan melalui jalur diplomasi. Isu ini sempat dibahas dalam perundingan tingkat tinggi Korea Selatan-Korea Utara pada 2018, saat hubungan kedua negara sempat mencair. Namun, sejak 2019 seluruh proses dialog antara Seoul dan Pyongyang kembali terhenti akibat meningkatnya ketegangan terkait program nuklir Korea Utara.
Sementara itu, mantan Presiden Yoon saat ini ditahan dan tengah menjalani persidangan atas tuduhan pemberontakan dan pelanggaran hukum lainnya setelah percobaan kudeta singkat. Dalam pernyataan terbaru, Yoon membela keputusannya mendeklarasikan darurat militer, menuding kelompok liberal mencoba melumpuhkan pemerintahan dan mengganggu tatanan konstitusi.






