Pantone telah mengumumkan Cloud Dancer (PANTONE 11-4201) sebagai Color of the Year atau tren warna untuk tahun 2026. Pengumuman ini, yang dirilis pada 4 Desember, menggambarkan warna tersebut sebagai “lofty white neutral” yang dirancang untuk menawarkan ketenangan di tengah hiruk pikuk dunia.
Menurut pernyataan resmi Pantone, warna ini merepresentasikan kebutuhan masyarakat akan “calming influence” dan ruang untuk refleksi. Cloud Dancer digambarkan sebagai corak yang “mengundang relaksasi sejati, membuat pikiran mengembara, dan memberi napas bagi kreativitas.”
Namun, tak lama setelah pengumuman tersebut, komentar kritis mulai bermunculan di media sosial. Banyak pengguna menilai pilihan warna ini tidak peka terhadap kondisi sosial dan politik global yang tengah bergejolak.
Kritik Minim Kreativitas dan Kepekaan Budaya
Salah satu kritik utama yang muncul adalah anggapan bahwa pemilihan warna putih sebagai Color of the Year menunjukkan kurangnya kreativitas. “Memilih warna putih di situasi sosial dan politik seperti sekarang… itu menyiratkan sesuatu,” tulis Jason Rhee, seorang desainer dan kreator di Rheefined Company, dalam kolom komentar unggahan Pantone.
Beberapa kritik lain menilai keputusan ini “tone-deaf“, menyoroti minimnya sensitivitas terhadap keragaman budaya dan simbolisme warna yang terkadang sensitif. “Di saat warna menjadi bahasa ekspresi budaya, emosi, dan inovasi, memilih warna berbasis putih terasa seperti keputusan yang tak peka,” ujar seorang pengguna lain.
Pengguna tersebut menambahkan, “Bahkan bisa selaras dengan simbolisme budaya dan politik yang banyak dari kami anggap bermasalah.” Perdebatan juga meluas ke definisi warna itu sendiri, apakah putih dapat dikategorikan sebagai warna atau sekadar ketiadaan warna. “Waktu kecil saya diajari putih itu bukan warna… Ini lucu kalau harus jadi Color of the Year,” tulis seorang pengguna di platform X.
Pantone Tegaskan Tidak Ada Motif Politik
Menanggapi polemik yang berkembang, Pantone memastikan bahwa pemilihan Cloud Dancer tidak memiliki kaitan dengan isu “skin tone” atau simbol budaya tertentu. Laurie Pressman, dari Pantone, menyatakan kepada The Washington Post bahwa faktor-faktor tersebut sama sekali tidak dipertimbangkan dalam proses penetapan warna.
Pressman menyebut bahwa publik kerap menarik kesimpulan berlebihan, bahkan pada tahun-tahun sebelumnya. “Dengan Peach Fuzz dan Mocha Mousse saja, orang sudah mengira ini tentang skin tone,” ujarnya. “Padahal bagi kami, pertanyaannya sederhana, apa yang masyarakat cari, dan apa yang bisa dijawab oleh warna?”
Eksekutif Direktur Pantone Color Institute, Leatrice Eiseman, menambahkan bahwa pemilihan Cloud Dancer bukan karena Pantone “kehabisan ide”. Ia menjelaskan bahwa warna putih justru dipilih untuk menggambarkan ruang kosong, sebuah kanvas baru yang membuka jalan bagi cara berpikir baru.
“Ini bukan soal default ke warna putih,” kata Eiseman. “Ini tentang makna blank canvas yang membuka peluang dan arah baru.”
Proses Pemilihan Color of the Year
Pantone menunjuk Color of the Year setiap tahun melalui tim global yang terdiri dari para spesialis warna. Proses ini melibatkan pemantauan tren dari berbagai sumber, termasuk seni, film, mode, desain, teknologi, hingga dinamika media sosial.
Pressman menjelaskan bahwa bobot setiap sumber dapat bervariasi dari tahun ke tahun. “Apa pun yang terjadi dalam budaya bisa memengaruhi pilihan kami,” ujarnya. Ia menekankan bahwa keputusan tim selalu dicapai melalui konsensus antaranggota Pantone Color Institute.
Hingga kini, reaksi terhadap Cloud Dancer tetap terbagi. Sebagian pihak melihat warna tersebut menawarkan ketenangan, sementara yang lain menilai Pantone gagal membaca sensitivitas publik. Pemilihan ini kembali menunjukkan bagaimana keputusan estetika dapat memicu diskusi sosial yang lebih luas terkait simbol budaya, representasi, dan kreativitas.






