Dua peserta kategori 15 kilometer dalam ajang Siksorogo Lawu Ultra 2025 meninggal dunia pada Minggu (7/12/2025) di tengah hujan lebat yang mengguyur lokasi perlombaan. Insiden ini kembali membuka diskusi mengenai potensi risiko kematian mendadak saat aktivitas lari, yang kerap dianggap aman namun menyimpan bahaya laten jika kondisi tubuh tidak diperhatikan.
Pertanyaan mendasar muncul: mengapa seseorang bisa tiba-tiba meninggal saat berlari? Apa saja faktor pemicu dan bagaimana upaya pencegahannya?.
Risiko Utama: Henti Jantung Mendadak
Dokter sekaligus Ahli Ilmu Faal Olahraga Klinis, dr. Iwan Wahyu Utomo, AIFO.K, menjelaskan bahwa penyebab paling umum kematian mendadak saat lari adalah gangguan jantung akut. Kondisi ini kerap dialami individu yang tidak menyadari memiliki masalah jantung sebelumnya.
“Banyak orang merasa sehat karena tidak ada keluhan, padahal ada kondisi jantung yang memang tidak bergejala sampai tubuh dipaksa bekerja keras,” ujarnya. Menurutnya, kelainan jantung seperti aritmia, penyempitan pembuluh darah, atau kelainan bawaan dapat terpicu oleh aktivitas fisik yang intens.
“Ketika jantung dipaksa bekerja melebihi kapasitas, risiko henti jantung meningkat. Kalau golden time pertolongan terlewat, peluang selamatnya sangat kecil,” kata Iwan.
Dehidrasi dan Kehilangan Elektrolit Jadi Ancaman
Selain faktor jantung, Iwan mengingatkan bahwa lari jarak jauh berpotensi menyebabkan kehilangan cairan dan elektrolit dalam jumlah besar. Jika tidak segera diganti, kondisi ini dapat berujung fatal.
“Dehidrasi berat bisa memengaruhi kestabilan jantung dan fungsi organ lain. Pelari sering merasa ‘masih kuat’ padahal tubuhnya sudah lampu merah,” jelasnya. Tanda-tanda awal dehidrasi berat meliputi pusing, mual, meriang, dan lemas ekstrem.
“Begitu muncul gejala itu, harus berhenti. Jangan memaksakan diri,” tegasnya.
Cuaca Ekstrem Membebani Tubuh
Dalam kasus Siksorogo Lawu Ultra 2025, hujan deras menyebabkan suhu tubuh pelari menjadi tidak stabil. Kondisi dingin ekstrem dapat memengaruhi pernapasan, daya tahan, hingga fungsi jantung.
“Cuaca ekstrem, baik panas atau dingin, memaksa tubuh bekerja dua kali lipat untuk menjaga suhu. Dampaknya bisa sangat signifikan bagi pelari,” kata Iwan.
Kelompok yang Perlu Waspada
Iwan menyarankan beberapa kelompok orang untuk menunda aktivitas lari intens:
- Sedang tidak fit atau baru sembuh dari sakit.
- Memiliki riwayat penyakit jantung atau paru-paru.
- Sering merasa pusing saat berolahraga.
- Memiliki riwayat keluarga dengan kasus henti jantung mendadak.
- Kurang tidur atau mengalami dehidrasi.
“Olahraga itu bukan soal memaksakan diri. Kadang yang dibutuhkan tubuh adalah istirahat,” ujarnya.
Sinyal Tubuh yang Tak Boleh Diabaikan
Iwan menekankan bahwa tubuh selalu memberikan sinyal sebelum terjadi kolaps. Pelari wajib berhenti jika mengalami:
- Nyeri dada.
- Jantung berdebar tidak teratur.
- Napas pendek atau sesak.
- Pusing atau penglihatan gelap.
- Menggigil di tengah aktivitas.
- Mual hebat.
“Kalau muncul gejala itu, stop segera. Lebih baik kehilangan satu race day daripada kehilangan nyawa,” katanya.
Pentingnya Pemeriksaan Kesehatan
Iwan menyoroti krusialnya skrining kesehatan, terutama bagi pelari yang mengikuti lomba jarak menengah hingga jauh. Minimal, pelari sebaiknya melakukan:
- Pemeriksaan jantung.
- Evaluasi kondisi kebugaran.
- Pengecekan riwayat penyakit.
- Perencanaan pola makan dan hidrasi sebelum, selama, dan setelah lomba.
“Jumlah event makin banyak, tapi kesadaran medical check-up masih rendah. Padahal pemeriksaan sederhana bisa menyelamatkan hidup,” tutupnya.






