Indonesia tengah menyaksikan pergeseran paradigma kepemimpinan. Era ketika pencitraan mulai kehilangan daya tariknya, ketika kemasan retak oleh realitas, dan publik tidak lagi mudah terkesan oleh simbol dan narasi yang dipoles. Fenomena ini bisa disebut sebagai ‘kiamat pencitraan’, yang kini mempertemukan warganet dengan pemimpin yang dianggap ‘tipu-tipu’. Publik kini berubah lebih cepat daripada para pemimpinnya, sebuah kenyataan sosial yang merambah politik, birokrasi, hingga organisasi kepemudaan.
Warganet masa kini tidak hanya mendengar, tetapi juga membaca, menafsir, dan mampu mendeteksi ketidaktulusan. Mereka membedakan kehadiran yang didorong kesadaran dari sekadar kebutuhan kamera. Jika dulu kepemimpinan bertumpu pada kata-kata melalui pidato dan dokumen kebijakan, kini ia lebih sering diuji melalui visual. Satu foto atau video pendek bisa lebih menentukan kepercayaan publik daripada pasal undang-undang atau pidato panjang.
Hakim Jeli di Era Digital
Warganet, atau ‘netizen’, telah berevolusi menjadi hakim yang paling jeli. Mereka mampu membedakan air mata otentik dari rekayasa, serta jabat tangan tulus dari sekadar kebutuhan konten. Di tengah krisis kepercayaan ini, para pemimpin dituntut memiliki lebih dari sekadar karisma panggung. Mereka memerlukan tritunggal kecerdasan baru: literasi visual kritis, kecerdasan kolegial, dan ketangkasan spasial-virtual.
Dalam birokrasi dan politik Indonesia, ‘kebutaan’ terhadap fenomena ini berakibat fatal. Banyak pemimpin turun ke lapangan hanya untuk melihat apa yang telah disiapkan bawahan, gagal mengamati masalah nyata di jalanan yang tidak terpoles. Amy E. Herman dalam bukunya Visual Intelligence (2017) menjelaskan bahwa otak kita selalu memilih, menyaring, dan menafsirkan visual bahkan tanpa disadari. Lebih dari separuh jalur saraf manusia terlibat dalam pemrosesan visual, yang berarti publik membentuk kesimpulan lebih cepat daripada pemimpin sempat menjelaskan.
Membongkar ‘Kebutaan yang Tidak Disengaja’
Herman mengingatkan bahwa mata bukanlah lensa kamera objektif, melainkan filter bias yang dipenuhi prasangka. Fenomena ini disebutnya sebagai inattentional blindness atau kebutaan yang tidak disengaja. Ia memperkenalkan konsep ‘The Pertinent Negative’, yaitu kemampuan melihat apa yang tidak ada. Pemimpin dengan literasi visual kritis tidak hanya bertanya ‘Apa yang ditampilkan?’, tetapi ‘Data apa yang hilang dari grafik ini?’.
Dalam konteks Indonesia, hal ini krusial untuk membongkar budaya ‘Asal Bapak Senang’ (ABS). Pemimpin perlu berhenti memuji ‘lukisan yang indah’ jika kanvasnya robek. Banyak pemimpin masih percaya niat baik akan otomatis terbaca, padahal yang pertama kali terbaca adalah gestur, ekspresi, dan konteks visual. Ketika pejabat tersenyum di tengah tragedi atau terlalu formal di tengah keresahan, warganet tidak menunggu klarifikasi; kesan sudah terbentuk.
Literasi Visual Kritis Bukan Sekadar Desain
Literasi visual kritis bukan berarti pemimpin harus mahir desain grafis atau konten media sosial. Ini adalah kesadaran bahwa apa yang dilihat publik selalu dibaca sebagai sikap, ditafsirkan sebagai posisi moral, dan dikaitkan dengan konteks sosial. Warganet Indonesia, yang hidup dalam banjir visual setiap hari, sangat peka. Mereka terlatih membandingkan, membedakan pemimpin yang hadir untuk mendengar dari yang sekadar hadir untuk dokumentasi.
Banyak kegagalan kepemimpinan saat ini bukan karena kebijakan yang keliru, melainkan ketidakmampuan membaca persepsi publik. Pemerintah dan lembaga negara sering sibuk menjelaskan substansi, lupa bahwa publik sudah bereaksi terhadap cara penyampaian. Kegagalan komunikasi ini memicu penolakan, yang kemudian membuat pemimpin merasa tidak dimengerti.
Pentingnya Kecerdasan Kolegial dan Ruang Virtual
Krisis ini diperparah oleh lemahnya kecerdasan kolegial. Keputusan penting sering lahir dari ruang sempit dan cara pandang seragam, padahal realitas Indonesia sangat majemuk. David Burkus dalam Leading from Anywhere (2021) menekankan bahwa kepemimpinan modern memerlukan pemahaman bersama, identitas bersama, dan tujuan bersama, terutama dalam konteks jarak jauh dan virtual. Kepemimpinan tidak bisa lagi bertumpu pada kontrol fisik, melainkan kepercayaan, kejelasan makna, dan komunikasi yang hidup.
Kepemimpinan kini berlangsung di ruang yang cair, di mana pernyataan formal bisa terasa arogan di ruang publik, dan gaya santai di media sosial bisa tak pantas di momen duka. Kepemimpinan spasial menuntut kepekaan terhadap situasi. Publik Indonesia sensitif terhadap rasa pantas; mereka tahu kapan pemimpin berbicara sebagai pejabat, manusia, atau simbol kekuasaan.
Dimensi virtual memperkuat semua ini. Kepemimpinan virtual bukan lagi pilihan, melainkan kenyataan. Legitimasi tidak lagi dibangun lewat seremoni, melainkan konsistensi. Kamera merekam kejujuran, bukan sekadar kata-kata. Publik merasakan ketika pemimpin berbicara dari hati atau sekadar membaca teks tanpa empati.
Generasi Muda dan Era Digital Natives
Bagi generasi muda yang mengisi pos strategis, jangan meniru gaya feodal pendahulu. Keuntungan sebagai digital natives bisa menjadi bumerang jika hanya digunakan untuk memoles ego. Gunakan pemahaman tentang ruang virtual untuk mendemokratisasi akses, membangun kepercayaan, dan makna tanpa kehadiran fisik terus-menerus.
Seneca mengingatkan, “Bukan karena kita memiliki waktu yang singkat kita hidup, tetapi karena kita membuang banyak waktu.” Jangan biarkan masa jabatan berlalu dalam kesia-siaan seremonial. Buatlah kebijakan dari data real-time hasil kolaborasi tim yang tersebar, bukan dari balik meja kayu jati. Memimpin dari mana saja (leading from anywhere) berarti memberikan kepercayaan kepada tim di daerah untuk mengambil keputusan kontekstual.
Seruan untuk Pemimpin Indonesia
Indonesia masih terlalu percaya pada kemasan, sibuk mengelola citra daripada membangun kehadiran autentik. Padahal, warganet hari ini tahu mana yang otentik dan artifisial. Mereka menuntut kejujuran, bukan kesempurnaan.
Oleh karena itu, setiap pemimpin di Indonesia diminta untuk berhenti meremehkan publik. Tingkatkan kemampuan membaca visual dan konteks sosial. Bangun kecerdasan kolegial yang nyata. Hadirlah di ruang publik dan digital dengan kesadaran, bukan sekadar kehadiran simbolik. Indonesia membutuhkan pemimpin yang peka, mau belajar, dan berani berubah. Kepemimpinan masa kini diukur dari kedalaman membaca dunia dan penempatan diri secara jujur.
Indonesia tidak butuh lebih banyak spanduk wajah pemimpin di pinggir jalan. Indonesia butuh pemimpin yang otentik menyelesaikan masalah, cerdas melihat ketimpangan, dan rendah hati bekerja sama. Jadilah pemimpin yang nyata di dunia yang semakin artifisial ini.






