Tren

Ilmuwan Prediksi Kepunahan Manusia dan Mamalia Akibat Panas Ekstrem 250 Juta Tahun Mendatang

Advertisement

Gagasan kepunahan manusia dan mamalia akibat panas ekstrem di masa depan mungkin terdengar seperti cerita fiksi ilmiah. Namun, sebuah penelitian ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal Nature Geoscience pada 25 September 2023 menyajikan skenario nyata berdasarkan pemodelan jangka panjang.

Para ilmuwan memproyeksikan kondisi Bumi ketika benua-benua kembali menyatu membentuk superbenua baru bernama Pangea Ultima. Dalam konfigurasi ini, sebagian besar daratan akan berada jauh dari samudra yang selama ini berperan penting dalam menstabilkan suhu global.

Tanpa pengaruh lautan, Bumi diprediksi akan berubah menjadi planet yang sangat panas, kering, dan tidak lagi mendukung kehidupan kompleks. Perubahan tata letak benua ini menjadi pemicu utama munculnya kondisi ekstrem yang belum pernah dialami manusia modern.

Tiga Faktor Pemicu Kepunahan

Penelitian yang dipimpin oleh Dr. Alexander Farnsworth dari Universitas Bristol ini menggabungkan faktor geologi, astronomi, dan atmosfer untuk memodelkan masa depan Bumi. Tiga faktor utama yang memicu kepunahan manusia dan mamalia adalah:

  • Efek Kontinentalitas: Daratan luas Pangea Ultima akan membuat wilayah pedalaman terjebak panas ekstrem. Angin laut yang biasanya menyerap dan menyejukkan suhu permukaan tidak akan mampu mencapai area ini.
  • Matahari yang Makin Terang: Intensitas radiasi Matahari meningkat secara alami seiring waktu. Dalam 250 juta tahun mendatang, radiasi diperkirakan naik 2,5 persen, cukup untuk menaikkan suhu Bumi secara drastis.
  • Aktivitas Vulkanik Masif: Pergerakan lempeng di superbenua dapat memicu letusan gunung berapi besar yang melepaskan karbon dioksida (CO2) dalam jumlah sangat tinggi. Konsentrasi CO2 diproyeksikan melampaui 600 ppm, membuat pemanasan global tak terkendali.

Dalam model iklim yang dibuat tim peneliti, sebagian besar daratan Pangea Ultima akan mengalami suhu antara 40 hingga 50 derajat Celsius. Di wilayah tropis, suhu bahkan bisa mencapai 70 derajat Celsius.

“Pada suhu seperti itu, tubuh manusia dan mamalia tidak dapat lagi mendinginkan diri lewat keringat. Kematian akibat panas menjadi tak terhindarkan,” kata Farnsworth.

Mamalia Terpojok, Adaptasi Tak Lagi Cukup

Selama jutaan tahun, mamalia telah berhasil bertahan dari berbagai perubahan lingkungan, mulai dari zaman es hingga pemanasan global ringan. Namun, suhu ekstrem yang berlangsung sepanjang tahun di masa depan Pangea Ultima membuat mekanisme adaptasi seperti bulu, ukuran tubuh lebih kecil, atau hibernasi, menjadi tidak relevan.

Keringat, mekanisme pendinginan utama bagi mamalia, tidak akan efektif lagi di udara yang panas dan lembap. Studi menunjukkan hanya sekitar 8 hingga 16 persen daratan Pangea Ultima yang akan memiliki suhu dapat ditoleransi oleh makhluk berdarah panas.

Lebih parah lagi, kekeringan berkepanjangan diperkirakan akan memusnahkan vegetasi, sumber air, dan rantai makanan. Populasi mamalia diprediksi akan tertekan jauh sebelum suhu mencapai titik tertinggi.

Advertisement

Bagi manusia, ancaman kepunahan datang lebih cepat. Ketergantungan pada air, pangan, dan teknologi pendingin membuat kelangsungan hidup jangka panjang hampir mustahil dalam skenario tersebut.

Peringatan Masa Depan yang Relevan Saat Ini

Meskipun skenario kepunahan massal ini baru diprediksi terjadi sekitar 250 juta tahun lagi, para ilmuwan menegaskan bahwa riset ini penting untuk memahami krisis iklim yang terjadi saat ini.

Dr. Eunice Lo mengingatkan bahwa manusia sudah mulai merasakan dampak gelombang panas mematikan, kekeringan, hingga masalah kesehatan yang dipicu oleh perubahan iklim.

Sejarah kepunahan massal di masa lalu, seperti peristiwa Ordovisium–Siluria, Permian–Trias, dan Cretaceous–Paleogen, menunjukkan bahwa perubahan cepat pada suhu dan atmosfer mampu menghapus sebagian besar kehidupan di Bumi.

Penelitian ini juga memiliki implikasi bagi studi eksoplanet. Sebuah planet yang berada di zona layak huni belum tentu benar-benar ramah kehidupan jika memiliki konfigurasi benua seperti Pangea Ultima.

Hal ini menegaskan bahwa kombinasi distribusi daratan, aktivitas vulkanik, intensitas matahari, dan komposisi atmosfer sangat menentukan apakah sebuah planet dapat menopang kehidupan.

Temuan ini menjadi pengingat krusial bahwa upaya menekan emisi gas rumah kaca bukan hanya soal menyelamatkan masa depan manusia dalam waktu dekat, tetapi juga mempertahankan stabilitas sistem iklim yang telah memungkinkan kehidupan berkembang di Bumi.

Advertisement