Keajaiban alam seringkali tersembunyi dalam detail yang tak terduga. Jika burung cenderawasih identik dengan warna-warni eksotis, ternyata ada spesiesnya yang menyimpan rahasia kegelapan. Burung toowa cemerlang (Ptiloris magnificus) memiliki bulu hitam pekat yang mampu menyerap lebih dari 99,5% cahaya. Kini, para ilmuwan berhasil meniru mekanisme luar biasa ini untuk menciptakan kain tergelap yang pernah ada.
Dalam studi terbaru dari Department of Human Centered Design, Cornell University, peneliti menyoroti bagaimana alam seringkali memanfaatkan kombinasi warna dan struktur nano. “Satwa liar sering menggunakan kombinasi warna dalam kulit, sisik, dan bulu mereka… dan berbagai struktur nano/mikro yang menghasilkan ultrablack alias hitam kelam telah dipelajari dan direplikasi secara sintetis,” tulis laporan tersebut.
Namun, teknologi ultrablack buatan manusia masih memiliki keterbatasan. Banyak proses yang mahal, menggunakan bahan beracun, dan tidak cocok untuk tekstil sehari-hari. Padahal, potensi warna superhitam sangat luas, mulai dari panel surya, kamera dan teleskop, hingga industri mode.
Tim Cornell bahkan telah mendemonstrasikan potensi ini dengan menciptakan sebuah gaun hitam dramatis yang dihiasi panel biru iridesen, terinspirasi langsung dari keindahan toowa cemerlang.
Mekanisme Hitam Tergelap dari Alam
Rahasia di balik hitamnya bulu burung toowa cemerlang terletak pada kombinasi melanin dan struktur hierarkis bulunya. “Melanin adalah komponen yang dimiliki makhluk-makhluk ini, dan pada burung toowa terdapat struktur hierarkis yang sangat menarik, yaitu barbula, yang bekerja bersama melanin,” jelas Larissa Shepherd, asisten profesor di Cornell.
Barbula, serabut halus yang bercabang dari bulu, tersusun sangat rapat dengan alur dan rongga mikroskopis. Struktur ini bekerja sama dengan melanin untuk menjebak cahaya, sehingga hampir tidak ada yang dipantulkan keluar. Inilah yang menciptakan efek ultrablack alami.
Meniru Alam dengan Teknologi Sintetis
Tim Cornell berupaya mereplikasi mekanisme ini dalam sebuah tekstil. Alih-alih menggunakan melanin alami, para ilmuwan memanfaatkan polydopamine, sejenis melanin sintetis yang berasal dari dopamin pada lendir kerang. Pigmen ini digunakan untuk mewarnai kain rajut wol merino hingga mencapai warna hitam pekat.
Langkah selanjutnya melibatkan teknik plasma etching untuk membentuk goresan nanoskopis. Proses ini menciptakan “fibril” yang meniru struktur barbula pada bulu burung. “Cahaya pada dasarnya memantul berulang kali di antara fibril, alih-alih memantul keluar kembali,” jelas Hansadi Jayamaha dari RAD Lab Cornell. “Di situlah efek ultrablack tercipta.”
Kain Superhitam yang Nyaman dan Stabil
Hasil pengujian menunjukkan bahwa kain yang dikembangkan memiliki reflektansi rata-rata hanya 0,13%, menjadikannya salah satu kain tergelap yang pernah dibuat. Keunggulan lainnya adalah stabilitas warnanya dari berbagai sudut pandang. Kain ini menunjukkan kinerja ultrablack bersudut lebar, mempertahankan respons optik yang konsisten hingga rentang 120°, mengatasi kelemahan material hitam ekstrem lainnya.
Selain kegelapannya yang ekstrem, kain ini juga menawarkan kenyamanan yang mengejutkan. Tim peneliti mencatat, “Tidak seperti kain ultrablack komersial, wol ultrablack yang dikembangkan dalam studi ini tetap dapat bernapas dan mengikuti bentuk tubuh.” Kain ini lembut, fleksibel, tahan cuci, tahan cahaya, dan cukup kuat untuk penggunaan sehari-hari.
Inovasi ini tidak hanya menjadi pencapaian ilmiah, tetapi juga berpotensi besar memasuki industri fesyen dan teknologi. Tim Cornell telah mengajukan paten sementara untuk teknologi ini. Jika berjalan lancar, teknik pembuatan kain superhitam yang terinspirasi burung cenderawasih ini dapat segera diaplikasikan pada berbagai produk, mulai dari gaun futuristik hingga peralatan optik berpresisi tinggi. Studi lengkap mengenai penemuan ini telah dipublikasikan di jurnal Nature Communications.






