Tren

Gen Z Ditinggal “Zero Post”: Tren Mundur dari Media Sosial yang Mengering

Advertisement

Fenomena generasi Z atau Gen Z yang memilih untuk tidak lagi mengunggah konten di media sosial, terutama Instagram, mulai menarik perhatian publik. Kelompok usia yang lahir antara 1997 hingga 2012 ini kini kerap membiarkan akun mereka kosong, sebuah kebiasaan yang kontras dengan fungsi awal media sosial sebagai sarana konektivitas di era digital.

Penurunan penggunaan media sosial dilaporkan terjadi sekitar 10 persen, didominasi oleh kalangan muda. Studi yang melibatkan 250.000 pengguna di hampir 20 negara ini menunjukkan adanya pergeseran signifikan dalam interaksi daring.

Munculnya Istilah “Zero Post”

Istilah zero post pertama kali diperkenalkan oleh penulis esai Kyle Chayka. Ia menggunakan frasa ini untuk menggambarkan semakin jarangnya ritual berbagi kabar secara daring. Dalam artikelnya di The New Yorker berjudul Infinite Scroll, Chayka menyoroti potensi pergeseran ini.

“Kita mungkin juga sedang menuju sesuatu seperti zero post, titik di mana orang-orang biasa, masyarakat awam yang tidak profesional dan tidak terkomersialkan berhenti berbagi hal-hal di media sosial karena mereka merasa bosan dengan kebisingan,” ujar Chayka, dikutip dari BBC.

Menurutnya, fenomena ini bisa jadi menandakan akhir dari era media sosial yang digunakan secara aktif oleh masyarakat umum untuk berbagi cerita.

Mengapa Gen Z Menghindari Unggahan?

Kyle Chayka menguraikan beberapa alasan di balik tren zero post di kalangan Gen Z. Ia mengamati bahwa anggapan generasi sebelumnya yang menilai anak muda zaman sekarang tidak peduli privasi dan gemar mengunggah segalanya, ternyata tidak sepenuhnya tepat.

Faktanya, Gen Z mulai merasa jenuh dan enggan untuk mengunggah konten. Terbiasa dengan akses internet sejak lahir, mereka menganggap internet sebagai satu-satunya sumber komunikasi. Namun, ketergantungan pada koneksi daring ini justru mengikis keterampilan percakapan di dunia nyata, mendorong sebagian dari mereka untuk menarik diri dari aktivitas daring.

Advertisement

Kejenuhan Konten dan Komersialisasi

Kejenuhan bermedia sosial yang dirasakan Gen Z juga dikaitkan dengan paparan konten yang semakin didominasi kecerdasan buatan (AI). “Saya rasa media sosial telah menjadi kurang sosial. Media sosial lebih tentang mengonsumsi konten yang sangat dikomersialkan ini,” ucap Chayka.

Banyak Gen Z merasa platform media sosial kini lebih menampilkan aspirasi gaya hidup yang dikomersialkan ketimbang mencerminkan realitas kehidupan sehari-hari. Bagi mereka, hal ini menghilangkan esensi dari tujuan media sosial.

Chayka memprediksi, jika platform kehilangan koneksi dengan kehidupan masyarakat biasa dan pengguna enggan mengunggah konten, media sosial bisa berubah menyerupai televisi. Kontennya pun berpotensi didominasi oleh iklan merek, mode, hingga promosi hotel.

Teori “Internet Mati” dan Penurunan Kualitas

Fenomena ini sejalan dengan apa yang disebut para ahli sebagai “teori Internet Mati” (Dead Internet Theory). Teori ini mengklaim bahwa sebagian besar konten di internet, termasuk media sosial, akan segera dihasilkan oleh AI, seperti dikutip dari ED Times.

Ketika konten AI mendominasi dan jumlah pengguna aktif berkurang, yang tersisa hanyalah konten pemasaran yang kering. Penjelasan lain mengenai penurunan kualitas konten ini dikenal sebagai enshittification atau crapification, istilah yang dipopulerkan oleh jurnalis Cory Doctorow.

Tren zero post bukanlah bentuk pemboikotan media sosial, melainkan sebuah penarikan diri sadar dari pengalaman daring yang terasa kurang manusiawi. Pengguna Gen Z menunjukkan keinginan yang lebih kuat untuk merasakan kehidupan yang otentik, bahkan jika itu berarti meninggalkan jejak digital mereka.

Advertisement