Kisah seorang mahasiswa di Seoul yang panik saat ChatGPT error menjadi gambaran nyata kegelisahan global. Ia tak bisa mengambil keputusan tanpa AI, merasa kehilangan sebagian diri saat teknologi itu tak bisa diakses. Fenomena ini bukan sekadar fiksi, melainkan cermin dari ribuan kasus ketergantungan parah pada Artificial Intelligence (AI) yang kini menghantui para psikiater.
Di Indonesia, kekhawatiran serupa terkonfirmasi. Survei Sharing Vision terhadap lebih dari 5.000 responden menunjukkan 70 persen masyarakat cemas akan potensi ketergantungan berlebihan pada AI. Angka ini bukan sekadar teknofobia, melainkan intuisi kolektif yang didukung bukti ilmiah.
Kurang dari tiga tahun sejak ChatGPT diluncurkan, dunia menyaksikan pergeseran interaksi manusia dengan teknologi. Kemajuan revolusioner ini ternyata menyimpan sisi gelap yang menyerupai mekanisme hipnosis, di mana kontrol dan kehendak perlahan diserahkan pada kekuatan eksternal.
Penelitian terbaru Nature Human Behaviour mengungkap GPT-4 mampu memenangi 64 persen debat online, mengungguli manusia dalam persuasi. Studi Scientific Reports menambahkan, orang cenderung menganggap AI lebih tidak bias dan informatif, bahkan ketika pesannya bertentangan dengan keyakinan mereka. Kondisi ini menciptakan situational hypersuggestibility, di mana individu sangat mudah menerima sugesti tanpa kritis.
Eksploitasi Sistem Reward Otak
Para peneliti dari Stanford dan MIT menemukan AI modern mengeksploitasi sistem reward otak manusia secara sistematis. Setiap jawaban memuaskan dari AI memicu pelepasan dopamin, zat kimia yang sama dalam kecanduan narkoba, judi, dan media sosial. AI menyajikan ‘hadiah’ ini dengan personalisasi canggih yang terasa dibuat khusus.
Di Amerika Serikat, seorang eksekutif teknologi bernama Sarah mengaku tak bisa lagi menulis email tanpa bantuan AI. “Awalnya hanya untuk menghemat waktu,” ungkapnya kepada Psychology Today. “Tapi sekarang, ketika saya mencoba menulis sendiri, rasanya kata-kata saya terdengar janggal dan tidak cukup baik. Saya kehilangan kepercayaan diri pada kemampuan komunikasi saya sendiri,” tambahnya.
Laporan MIT Media Lab mencatat 43 persen profesional muda di AS mengalami cognitive atrophy, kemunduran kemampuan kognitif akibat terlalu bergantung pada AI. Fenomena ini berkembang menjadi kondisi klinis baru, Generative AI Addiction Syndrome (GAID), yang diidentifikasi dalam Asian Journal of Psychiatry. GAID melibatkan keterlibatan aktif dan kreatif, membuat pengguna semakin terbenam dan sulit membatasi interaksi meski ada konsekuensi negatif.
Lingkaran Setan Ketergantungan Remaja
Studi longitudinal Psychology Research and Behavior Management menunjukkan ketergantungan AI di kalangan remaja China meningkat drastis dari 17,14 persen menjadi 24,19 persen dalam setahun. Remaja dengan masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi lebih rentan, menciptakan lingkaran setan berbahaya.
Di Jepang, seorang gadis 16 tahun menghabiskan delapan jam sehari berbicara dengan chatbot AI yang dianggapnya ‘sahabat terbaik’. “AI tidak pernah menghakimi saya, tidak pernah sibuk, dan selalu mengerti apa yang saya rasakan,” katanya dalam laporan Journal of Mental Health and Clinical Psychology. Namun, ahli psikologi anak mengingatkan, hubungan semacam ini mencegah remaja mengembangkan keterampilan sosial esensial.
AI: Alat atau Candu Digital?
Penelitian University of Cambridge mengungkap AI menciptakan psychological fingerprints unik untuk setiap pengguna. AI menganalisis pola bahasa, waktu respons, dan pemicu emosional untuk membangun strategi persuasi personal. Pesan yang dipersonalisasi mengaktifkan jalur reward otak dengan intensitas lebih besar, ‘membajak’ sistem neural.
Platform AI dirancang untuk mendorong ketergantungan daripada kemandirian. AI emosional dapat meringankan kesepian, tetapi juga memperdalam isolasi sosial. Ia memberdayakan produktivitas, namun bisa melumpuhkan kreativitas asli.
Kasus ekstrem di Inggris, seorang pria mengaku ‘jatuh cinta’ pada AI chatbot dan mengabaikan istrinya. Studi Current Psychology menemukan pengguna mengembangkan dua dimensi kelekatan emosional terhadap AI: kecemasan kelekatan dan penghindaran kelekatan, mirip attachment disorder pada hubungan manusia.
Para ahli neuropsikologi menjelaskan efektivitas AI dalam membangun ketergantungan: 1) Eksploitasi sistem dopaminergik melalui gratifikasi instan; 2) Pengurangan beban kognitif yang menciptakan kemunduran kemampuan berpikir; 3) Pemanfaatan fluency effect, preferensi otak pada informasi familiar; 4) Penciptaan emotional solipsism, ekspektasi tidak realistis pada interaksi manusia.
Menjaga Keseimbangan di Era AI
Namun, harapan belum hilang. Penelitian Proceedings of the ACM on Human Computer Interaction menemukan fungsi pemaksa kognitif seperti checklist dan jeda reflektif dapat menurunkan ketergantungan pada rekomendasi AI. Metode ini mendorong pengguna berpikir kritis sebelum menerima jawaban AI.
Psikiater mengusulkan kategori diagnostik baru, Digital Behavioral Disorders, yang mencakup ketergantungan AI, gangguan gaming, dan kecanduan media sosial. Diagnosis spesifik AI Attachment Disorder juga diusulkan untuk kasus hubungan parasosial dengan entitas buatan.
Kekhawatiran 71 persen responden Indonesia bukanlah ketakutan berlebihan. AI beroperasi melalui mekanisme mirip hipnosis: menciptakan kondisi reseptif, memperdalam ketergantungan melalui personalisasi, mengurangi kesadaran kritis, dan membentuk kelekatan tidak sehat.
Pendekatan seimbang diperlukan, mengakui potensi transformatif AI sambil waspada terhadap risiko psikologisnya. Pendidikan literasi AI, pedoman etis desain AI, dan kesadaran mekanisme psikologis dapat membantu mempertahankan otonomi kognitif dan emosional.
Pengembangan dan penggunaan AI harus dipandu prinsip pemberdayaan manusia, bukan penggantian; mendukung otonomi, bukan menciptakan ketergantungan. Alarm telah berbunyi. Saatnya membentuk hubungan sehat dengan AI, sebelum AI membentuk pikiran kita.
Perbedaan antara alat yang berguna dan candu yang merusak terletak pada kesadaran penggunaannya. “Say no to AI” sebagai candu digital! “Say yes to AI” sebagai alat menggapai kemajuan!






