Tren

18 Wilayah Indonesia Terkontaminasi Mikroplastik Udara, Jakarta Pusat Paling Tinggi

Advertisement

Hasil studi terbaru menunjukkan kontaminasi mikroplastik tidak hanya ditemukan di perairan, tetapi juga mengudara di 18 kota dan kabupaten di seluruh Indonesia. Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton), bekerja sama dengan Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ), mempublikasikan temuan ini pada Kamis (23/10/2025), setelah melakukan penelitian intensif antara Mei hingga Juli 2025.

Penelitian ini mengidentifikasi serat (fiber) dan fragmen sebagai jenis mikroplastik yang paling dominan ditemukan di udara. Keberagaman polimer di udara bahkan lebih tinggi dibandingkan yang ditemukan dalam sampel air hujan. Jika di air hujan polimer paling banyak adalah poliester, nilon, polietilena, polipropilen, dan polibutadien, udara tercemar oleh polimer tambahan seperti PTFE, epoxy, poliisobutilena, poliolefin, dan silika.

Koordinator Sukarelawan Riset Mikroplastik Ecoton, Sofi Azilan Aini, menjelaskan bahwa kebiasaan membakar sampah plastik menjadi faktor utama tingginya kadar mikroplastik di udara. “Sebanyak 57 persen masyarakat masih melakukan pembakaran terbuka, sehingga menyumbang tingginya kadar mikroplastik di udara,” ujar Sofi, merujuk pada data yang dikutip dari laman Ecoton.

Sofi menambahkan, serat dan fragmen mikroplastik yang beterbangan di udara kemudian terdispersi oleh angin dan berpotensi turun bersama air hujan. Fenomena ini dikenal sebagai ‘hujan mikroplastik’.

18 Wilayah dengan Kontaminasi Mikroplastik Tertinggi

Penelitian Ecoton memetakan lima kota dengan tingkat kontaminasi mikroplastik udara tertinggi. Jakarta Pusat menduduki peringkat teratas dengan rata-rata 37 partikel mikroplastik per area 9 cm persegi selama dua jam deposisi. Komposisi mikroplastik di ibu kota ini didominasi oleh fragmen (53,26 persen) dan fiber (46,14 persen).

Berikut daftar lengkap 18 wilayah yang tercatat memiliki kontaminasi mikroplastik udara:

  • Jakarta Pusat (37 partikel)
  • Jakarta Selatan (30 partikel)
  • Bandung (16 partikel)
  • Semarang (13 partikel)
  • Kupang (13 partikel)
  • Denpasar (12 partikel)
  • Jambi (12 partikel)
  • Surabaya (12 partikel)
  • Palembang (10 partikel)
  • Pontianak (10 partikel)
  • Aceh Utara (10 partikel)
  • Sumbawa (10 partikel)
  • Palu (9 partikel)
  • Sidoarjo (9 partikel)
  • Gianyar (6 partikel)
  • Solo (6 partikel)
  • Bulukumba (4 partikel)
  • Malang (2 partikel)

Temuan ini diperkuat oleh penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebelumnya yang juga mendeteksi partikel mikroplastik dalam air hujan di Jakarta. Sumbernya meliputi serat sintetis pakaian, debu kendaraan, sisa pembakaran sampah plastik, dan degradasi plastik terbuka.

Advertisement

Kepala Laboratorium Mikroplastik Ecoton, Rafika Aprilianti, menggarisbawahi keterkaitan antara mikroplastik udara dan air hujan. “Tingginya mikroplastik di udara Jakarta berdampak langsung pada meningkatnya kadar mikroplastik dalam air hujan,” kata Rafika, dilansir dari laman Ecoton.

Ia menjelaskan, metode penelitian menggunakan cawan petri kaca yang ditempatkan di zona pernapasan manusia (1–1,5 meter) selama dua jam. Partikel yang terkumpul dianalisis menggunakan mikroskop stereo dan FTIR untuk identifikasi jenis polimer.

Rekomendasi Kebijakan

Sofi Azilan Aini mengidentifikasi sumber utama mikroplastik udara sebagai pembakaran terbuka sampah plastik dan rumah tangga, degradasi produk plastik serta tekstil sintetis, dan emisi kendaraan.

Untuk mengatasi masalah ini, tim Ecoton merekomendasikan Kementerian Lingkungan Hidup untuk melarang pembakaran sampah terbuka dan memperkuat penegakan hukum lingkungan hingga tingkat kelurahan. Peningkatan fasilitas pemilahan sampah dari sumber dan perluasan konsep ‘zero waste cities’ juga dianggap krusial.

Selain itu, pemerintah didorong mengembangkan sistem pengolahan sampah organik untuk mengurangi volume sampah yang berpotensi dibakar. Pemantauan berkala kandungan mikroplastik di udara dan air hujan, khususnya di Jakarta, dinilai penting sebagai dasar penyusunan kebijakan berbasis sains.

Advertisement